Kréh, krèh, kreuh, Siapa Peduli?
Rahmat, S.Ag.
Balai Bahasa Aceh
Bahasa Aceh adalah salah satu bahasa daerah yang ada di nusantara ini yang perlu dijaga dan dipelihara kelangsungan hidupnya. Pembinaan, pengembangan dan pelestarian bahasa Aceh perlu dilakukan agar fungsi bahasa Aceh dapat berperan sebagaimana mestinya. Bahasa Aceh, selain digunakan di lembaga pendidikan formal, juga digunakan oleh masyarakat umum. Seperti halnya pemakaian bahasa Aceh di lembaga pendidikan formal, pemakaian bahasa Aceh di masyarakat umum seharusnya juga tetap dilakukan langkah-langkah pembinaan dan pengembangan. Dengan demikian, bahasa Aceh yang digunakan di masyarakat tetap dapat dipantau supaya dapat menjalankan fungsinya.
Akhir-akhir ini, pemakaian bahasa Aceh di masyarakat umum telah mengalami suatu keadaan yang menuntut perhatian serius para linguis. Banyak pemakaian bahasa Aceh yang sudah tidak mengikuti kaidah yang ada. Bila hal ini dibiarkan akan memperparah usaha pelestarian bahasa Aceh di masa-masa mendatang. Beberapa fakta di lapangan menunjukkan indikasi tersebut, misalhya pemakaian bahasa Aceh di media luar ruang, seperti di surat kabar, spanduk, stiker, baju, papan reklame, dan beberapa media massa lainnya. Hadirnya berbagai macam LSM Pascatsunami, baik dalam maupun luar negeri, telah menghadirkan masalah tersendiri dalam aspek kebahasaan. Banyak program kegiatan mereka diberi nama dan tema menggunakan bahasa Aceh agar menghadirkan kesan familier bagi pengungsi. Akan tetapi, sangat disayangkan pemberian nama program mereka dengan penggunaan bahasa Aceh sama sekali tidak memedulikan kaidah tata bahasa Aceh. Berikut ini beberapa contoh penulisan spanduk yang ditulis oleh beberapa LSM yang penulis jadikan sampel.
(1) “Gampong yang gleeh dan sihat cerminan hatee guetanyoe mandum”
Sesuai dengan ejaan 1980, kalimat (1) seharusnya ditulis (1a) ”Gampông nyang gléh ngön sèhat ceureumén haté geutanyoe bandum",(GampoG YaG glEh Gon sihat c&r&mEn hatE g&taYow bandum) atau ditulis tanpa menggunakan tanda-tanda fonetis seperti yang ditawarkan oleh Abdul Gani Asyik, Phd., dalam makalah Beliau “Transliterasi Bahasa Aceh” pada penataran Bahasa Aceh di Bireun, tanggal 23—27 September 2003, yaitu (1b) ”Gampong nyang gleh ngon sihat ceureumen hate geutanyoe bandum". Kata “yang” dalam bahasa Aceh seharusnya “nyang”, kata cerminan adalah kata bahasa Indonesia, seharusnya ditulis padanan kata bahasa Aceh ceureumén. Kata hatee ditulis dengan haté (bunyi vokal depan [e] yang dihasilkan dengan cara menempatkan ujung lidah ke depan seperti kata sate dalam bahasa Indonesia. Kata guetanyoe seharusnya ditulis geutanyoe (pronomina pertama jamak-kita) dengan lambang bunyi vokal [ω], dan kata mandum seharusnya ditulis bandum yang berarti semua.
(2) “Krue seumangat Aceh damai, beusapeu pakat, beusapee kheun, junjong martabat Aceh Mulia”..
Kalimat tersebut seharusnya ditulis “Krue seumangat Aceh damé, beusapeu pakat, beusapeu kheun, junjông maruwah Aceh Mulia” dengan lambang fonetis KruW s&manGat AcEh damEy, b&sap& pakat, b&sap& kh&n, junjOG maruwah AcEh Muliya... Kata damai adalah bahasa Indonesia, seharusnya diganti dengan kata damè, kata beusapee seharusnya beusapeu yang berarti hendaknya sama-sama, dan kata martabat adalah bahasa Indonesia seharusnya diganti dengan kata maruwah.
(3) “Beudoh beusaree tabangun nanggroe”
Seharusnya kalimat tersebut ditulis Beudoh beusaré tapeudong nanggroe dengan lambang fonetis b&dOh b&sarE tap&dOng naGgrOw.
Kata beusaree seharusnya beusaré atau beusare. Kata tabangun merupakan campur kode antara bahasa Aceh dengan bahasa Indonesia. Seharusnya kata tersebut ditulis tapeudong. Sementara itu, kata bangun adalah kosakata bahasa Indonesia.
Timbul pertanyaan dalam diri penulis, mengapa begitu banyak kesalahan dilakukan ketika kebanyakan orang Aceh hendak menulis bahasa Aceh yang benar? Janganlah heran kalau pertanyaan yang paling susah dijawab bagi kebanyakan orang Aceh adalah bagaimana menulis bahasa Aceh yang baik dan benar. Pertanyaan tersebut semakin sulit dijawab ketika keberagaman teknik penulisan ejaan bahasa Aceh yang berkembang dalam masyarakat. Ternyata, bukan hanya ejaan Budiman Sulaiman yang dijadikan pedoman, tetapi juga masih ada beberapa ejaan lainnya. Sayangnya, penggunaan ejaan di kalangan masyarakat sama sekali tidak mematuhi aturan ketatabahasaan yang ada dan tidak konsisten dalam penerapannya. Kadang-kadang, dalam satu kalimat, mereka memakai tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan bunyi-bunyi, misalnya antara ék [ek] ‘naik’ dan èk [εk] ‘kotoran’, antara le [lə]’banyak’ dan lé [le] ‘oleh’, antara boh [bƆh] ‘buah’, bôh [boh] ‘isikan’, dan böh [bΛh] ‘buang’. Namun, dalam kalimat berikutnya yang seharusnya menggunakan tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut, tidak mereka gunakan. Ada juga masyarakat umum yang sama sekali tidak menggunakan tanda-tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan bunyi-bunyi seperti contoh-contoh di atas, tetapi anehnya mereka secara tidak konsisten menulis huruf-huruf sebagai pengganti tanda-tanda tadi. Sebagai contoh, kata bersih seharusnya ditulis gléh (ejaan 1980) atau ditulis gleh tanpa menggunakan penanda di atas huruf vokal (Asyik). Akan tetapi, masyarakat umum menulis dengan kata gleeh dan ada juga yang menulis glëh.
Keberagaman sistem penulisan ejaan bahasa Aceh seperti telah penulis kemukakan di atas jelas menghawatirkan kita, terutama masyarakat umum yang sama sekali tidak mempunyai pengetahuan yang memadai tentang lingusitik. Sebenarnya, ejaan manakah yang harus mereka ikuti? Apakah ejaan 1980 yang telah disepakati secara akademis atau ejaan umum yang sering digunakan oleh para penulis di surat kabar?
Gejala bahasa ini diamati dengan serius oleh salah seorang pakar bahasa Aceh, Abdul Gani Asyik, P.hd. yang meraih gelar doktor lingusitik di Universitas Michigan, Amerika Serikat dengan disertasi A Contextual Grammar of Acehnese Sentences pada tahun 1987. Asyik mengemukakan bahwa sejak ejaan bahasa Aceh lahir tahun 1980, para penulis bahasa Aceh terbagi ke dalam dua golongan. Golongan pertama adalah para peneliti dan penulis buku pelajaran bahasa Aceh yang setia menggunakan sistem ejaan tahun 1980 dalam setiap tulisan mereka. Golongan kedua adalah masyarakat umum, seperti penulis di surat kabar, majalah, penggubah lagu, atau penulis hikayat, yang tidak mau menggunakan tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan bunyi-bunyi karena tanda-tanda tersebut terlalu rumit ditulis dan sering membingungkan.
Asyik kemudian mengusulkan sebuah versi ejaan bahasa Aceh dengan menghilangkan semua tanda di atas vokal-vokal itu. Di samping itu, beliau juga mengoreksi beberapa kekeliruan ejaan tahun 1980 seperti penulisan huruf b dalam rab ‘dekat’, tob ‘tikam’, yang semestinya adalah rap dan top karena tidak ada fonem /b/ di akhir kata-kata asli bahasa Aceh, serta penggabungan beu dan meu dalam beutoe ‘dekatkanlah’, meukön ‘jika bukan’, yang seharusnya ditulis terpisah karena beu dan meu pada contoh-contoh itu adalah kata, bukan awalan: beu toe, meu kön.
Akan tetapi, usul Asyik kurang mendapat tanggapan masyarakat. Para peneliti dan penulis buku bahasa Aceh yang belum mendapat pengetahuan linguistik secara memadai masih tetap menggunakan huruf b pada akhir kata-kata asli bahasa Aceh: gob ‘orang lain’, cob ‘menjahit’, grôb ‘melompat’. Mereka juga tidak memisahkan bentuk desideratif beu dengan kata berikutnya, misalnya beujra ‘biar jera’, beumaté ‘sampai mati’, yang seharusnya adalah beu jra dan beu maté, serta tidak membedakan antara meu sebagai kata yang ditulis terpisah dari kata berikutnya, misalnya dalam meu h’an ‘jika tidak’ yang mereka tulis meuh’an, dengan meu- sebagai sebuah awalan yang memang harus ditulis gabung: meuakai ‘berakal’.
Alm. Dr. Abdul Djunaidi dalam Sistem Tulisan Alfabet Romawi dalam Penulisan Bahasa Aceh mengungkapkan bahwa masyarakat umum yang tidak menggunakan penanda pada huruf-huruf vokal juga tidak konsisten menulis huruf-huruf sebagai pengganti tanda-tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan bunyi-bunyi vokal. Berikut beberapa contoh kata Sebagaimana dikemukakan Djunaidi (2000), vokal é seperti dalam maté ‘mati’ ditulis mate atau matee, vokal è seperti dalam hèk ‘letih’ ditulis hek atau heek, vokal ö seperti dalam böh ‘buang’ ditulis menjadi boh, boeh, atau bouh, serta vokal ô seperti dalam lôn ‘saya’ ditulis lon, loen, atau loun. Djunaidi memberikan tiga catatan penting mengenai pemakaian huruf-huruf ini. Pertama, simbol huruf antara para penulis ternyata berbeda-beda. Perbedaan itu malah dapat terjadi oleh penulis itu sendiri dalam satu tulisan. Perbedaan-perbedaan tersebut bagaimanapun tidak dapat dibenarkan karena salah satu sifat bahasa adalah mempunyai sistem. Dengan demikian, perlu ditetapkan sebuah sistem standar untuk penulisan kata-kata bahasa Aceh jika tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut hendak dihilangkan. Kedua, pemunculan huruf ee sebagai pengganti huruf é akan mendapat hambatan untuk kata tertentu, misalnya asee ‘hasil’. Dalam bahasa Aceh ee dapat diartikan juga sebagai diftong, misalnya dalam kayèe ‘kayu’, abèe ‘abu’, batèe ‘batu’, sehingga kata asee dapat juga berarti ‘anjing’ karena dalam sistem tadi kata ‘anjing’ akan ditulis asee. Ketiga, pemunculan huruf oe sebagai pengganti ô juga akan menghadapi tantangan untuk kata tertentu, misalnya taloe ‘kalah’. Dalam bahasa Aceh oe adalah diftong, seperti dalam bloe ‘beli’, lakoe ‘suami’, kamoe ‘kami’, sehingga kata taloe ‘kalah’ dapat berarti juga taloe ‘tali’. Prinsip penghilangan keambiguan suatu kata sebagaimana diharapkan penulis tidak dapat dicapai.
Dalam judul tulisan ini, penulis sengaja mengetengahkan deretan kata krèh, kréh, dan kreuh—yang menggunakan penanda di atas huruf vokal—untuk mendeskripsikan perlunya langkah-langkah lebih serius penyosialisasian ejaan bahasa Aceh yang telah ada. Jika hal tersebut tidak dilakukan, dikhawatirkan akan terjadinya kesalahan penulisan bahasa Aceh yang nantinya akan menimbulkan kesalahan makna. Kata krèh ditulis dengan vokal è berarti ‘alat kelamin pria’, kata kréh ditulis dengan vokal é berarti ‘keris’, dan kata kreuh yang ditulis dengan vokal eu berarti ‘keras’. Nah, coba kita bayangkan apabila kata-kata di atas ditulis salah dalam penggunaan kalimat bahasa Aceh, sungguh akan sangat menggelitik kita. Contoh, meunyoe hana kreh tateugôn, lemnyan hana khong jimat. (kalau tidak ada alat kelamin pria, lemnya tidak akan kuat melengket). Sebenarnya maksud si penulis, meunyoe hana kreuh tateugôn, lemnyan hana khong jimat. (kalau tidak kuat ditekan, lemnya tidak akan kuat melengket). kata krèh (krεh) sebenarnya ditulis kréh (kr∂h). Contoh lain, boh inöng boh agam bèk èk, (alat kelamin perempuan, alat kelamin laki-laki, jangan berak), sebenarnya maksud yang dikehendaki bôh inöng bôh agam bèk ék, (baik perempuan maupun laki-laki jangan naik). Penulis menyakini rumitnya sistem ejaan bahasa Aceh itulah yang menyebabkan mereka kurang mampu menerapkannya dalam konteks kebahasaan sehari-hari sehingga sebagian mencoba-coba menulis bahasa Aceh sesuai ejaan 1980 dengan kemampuan pengetahuan kebahasaan mereka yang terbatas dan sebagian lagi sama sekali tidak mau menggunakan ejaan 1980, tetapi disayangkan mereka juga tidak konsisten menggunakan huruf-huruf sebagai pengganti huruf-huruf vokal dalam ejaan 1980.
Menurut penulis, semua fenomena tersebut dapat terjadi karena tiga hal. Pertama, penulis sependapat dengan bapak Usman Bakar bahwa ejaan resmi dan baku bahasa Aceh yang ada sekarang terlalu rumit sehingga perlu ditata kembali (Kontras 2004), kedua, kelunturan sikap berbahasa Aceh oleh penuturnya sendiri yang sulit kita bendung akibat dari arus globalisasi, ketiga, sikap berbahasa orang Aceh yang cenderung lebih senang menggunakan ejaan bahasa Indonesia yang jauh lebih praktis penggunaannya. Akan tetapi, diantara alasan tersebut, alasan dominan yang menyebabkan sebagian besar orang Aceh malas menulis dengan bahasa daerahnya sendiri disebabkan ejaan bahasa Aceh (Ejaan 1980) terlalu rumit dan banyaknya kaidah-kaidah dalam penulisan, seperti pembubuhan tanda-tanda tertentu pada huruf-huruf vokal tunggal, misalnya ô pada kata jalô (sampan), é pada kata tabék (hormat), è pada kata bèk (jangan), dan ö pada kata keuböh (kebas). Penggunaan kata penghubung untuk memisahkan dua vokal, seperti ka-reueng (karang), meu-h’ai (mahal), keu-eueng (pedas), dan beberapa ketentuan lainnya.
Sampai saat ini, pembakuan bahasa Aceh pada umumnya belum dilakukan. Padahal, pembakuan ini sangat penting guna menciptakan komunikasi yang luas dan efektif di kalangan masyarakat pemakai bahasa Aceh. Pembakuan yang telah dilakukan sampai dengan saat ini baru berupa ejaan bahasa Aceh. Akan tetapi, itu pun tidak ditaati oleh semua penulis. Sementara itu, pembakuan pedoman tata istilah, kamus, dan tata bahasa sampai dengan saat ini sama sekali belum ada. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila bahasa Aceh belum mampu menjadi alat komunikasi yang luas dan efektif di kalangan masyarakat pendukungnya. Penulis menganggap sudah saatnya para pakar bahasa Aceh memikirkan ejaan bahasa Aceh yang baku, sederhana, dan mampu diimplementasikan di lapangan. Dengan demikian, perlu diadakan kongres bahasa Aceh yang menjadi tempat pengukuhan dan pengesahan isu-isu tentang bahasa Aceh dan segera disosialisasikan. Kalau semua itu tidak kita pedulikan dari sekarang, kita merasa sangat khawatir akan keberadaan bahasa Aceh ke depan. Sampai kapan keberagaman penulisan ejaan bahasa Aceh ini akan terjadi?