Senin, 20 Juni 2011

Kréh, krèh, kreuh, Siapa Peduli?

Kréh, krèh, kreuh, Siapa Peduli?
Rahmat, S.Ag.
Balai Bahasa Aceh

            Bahasa Aceh adalah salah satu bahasa daerah yang ada di nusantara ini yang perlu dijaga dan dipelihara kelangsungan hidupnya. Pembinaan, pengembangan dan pelestarian bahasa Aceh perlu dilakukan agar fungsi bahasa Aceh dapat berperan sebagaimana mestinya. Bahasa Aceh, selain digunakan di lembaga pendidikan formal, juga digunakan oleh masyarakat umum. Seperti halnya pemakaian bahasa Aceh di lembaga pendidikan formal, pemakaian bahasa Aceh di masyarakat umum seharusnya juga tetap dilakukan langkah-langkah pembinaan dan pengembangan. Dengan demikian, bahasa Aceh yang digunakan di masyarakat tetap dapat dipantau supaya dapat menjalankan fungsinya.
Akhir-akhir ini, pemakaian bahasa Aceh di masyarakat umum telah mengalami suatu keadaan yang menuntut perhatian serius para linguis. Banyak pemakaian bahasa Aceh yang sudah tidak mengikuti kaidah yang ada. Bila hal ini dibiarkan akan memperparah usaha  pelestarian bahasa Aceh di masa-masa mendatang. Beberapa fakta di lapangan menunjukkan indikasi tersebut, misalhya pemakaian bahasa Aceh di media luar ruang, seperti di surat kabar, spanduk, stiker, baju, papan reklame, dan beberapa media massa lainnya. Hadirnya berbagai macam LSM Pascatsunami, baik dalam maupun luar negeri, telah menghadirkan masalah tersendiri dalam aspek kebahasaan. Banyak program kegiatan mereka diberi nama dan tema menggunakan bahasa Aceh agar menghadirkan kesan familier bagi pengungsi. Akan tetapi, sangat disayangkan pemberian nama program mereka dengan penggunaan bahasa Aceh sama sekali tidak memedulikan kaidah tata bahasa Aceh. Berikut ini beberapa contoh penulisan spanduk yang ditulis oleh beberapa LSM yang penulis jadikan sampel.
(1)     “Gampong yang gleeh dan sihat cerminan hatee guetanyoe mandum”

Sesuai dengan ejaan 1980, kalimat (1) seharusnya ditulis (1a) ”Gampông nyang gléh ngön sèhat ceureumén haté geutanyoe bandum",(GampoG YaG  glEh Gon sihat c&r&mEn hatE g&taYow bandum) atau ditulis tanpa menggunakan tanda-tanda fonetis seperti yang ditawarkan oleh Abdul Gani Asyik, Phd., dalam makalah Beliau “Transliterasi Bahasa Aceh” pada penataran Bahasa Aceh di Bireun, tanggal 23—27 September 2003, yaitu (1b) ”Gampong nyang gleh ngon sihat ceureumen hate geutanyoe bandum". Kata “yang” dalam bahasa Aceh seharusnya “nyang”, kata cerminan adalah kata bahasa Indonesia, seharusnya ditulis padanan kata bahasa Aceh ceureumén. Kata hatee ditulis dengan haté (bunyi vokal depan [e] yang dihasilkan dengan cara menempatkan ujung lidah ke depan seperti kata sate dalam bahasa Indonesia. Kata guetanyoe seharusnya ditulis geutanyoe (pronomina pertama jamak-kita) dengan lambang bunyi vokal [ω], dan kata mandum seharusnya ditulis bandum yang berarti semua.

(2)     “Krue seumangat Aceh damai, beusapeu pakat, beusapee kheun, junjong martabat Aceh Mulia”..
           
      Kalimat tersebut seharusnya ditulis “Krue seumangat Aceh damé, beusapeu pakat, beusapeu kheun, junjông maruwah Aceh Mulia” dengan lambang fonetis KruW s&manGat AcEh damEy, b&sap& pakat, b&sap& kh&n, junjOG maruwah AcEh Muliya... Kata damai adalah bahasa Indonesia, seharusnya diganti dengan kata damè, kata beusapee seharusnya beusapeu yang berarti hendaknya sama-sama, dan kata martabat adalah bahasa Indonesia seharusnya diganti dengan kata maruwah.

(3) “Beudoh beusaree tabangun nanggroe”

Seharusnya kalimat tersebut ditulis Beudoh beusaré tapeudong nanggroe dengan lambang fonetis b&dOh b&sarE tap&dOng naGgrOw.
           Kata beusaree seharusnya beusaré atau beusare. Kata  tabangun merupakan campur kode antara bahasa Aceh dengan bahasa Indonesia. Seharusnya kata tersebut ditulis tapeudong. Sementara itu, kata bangun adalah kosakata bahasa Indonesia.
Timbul pertanyaan dalam diri penulis, mengapa begitu banyak kesalahan dilakukan ketika kebanyakan orang Aceh hendak menulis bahasa Aceh yang benar? Janganlah heran kalau pertanyaan yang paling susah dijawab bagi kebanyakan orang Aceh adalah bagaimana menulis bahasa Aceh yang baik dan benar. Pertanyaan tersebut semakin sulit dijawab ketika keberagaman teknik penulisan ejaan bahasa Aceh yang berkembang dalam masyarakat. Ternyata, bukan hanya ejaan Budiman Sulaiman yang dijadikan pedoman, tetapi juga masih ada beberapa ejaan lainnya. Sayangnya, penggunaan ejaan di kalangan masyarakat sama sekali tidak mematuhi aturan ketatabahasaan yang ada dan tidak konsisten dalam penerapannya. Kadang-kadang, dalam satu kalimat, mereka memakai tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan bunyi-bunyi, misalnya antara ék [ek] ‘naik’ dan èk [εk] ‘kotoran’, antara le [lə]’banyak’ dan [le] ‘oleh’, antara boh [bƆh] ‘buah’, bôh [boh] ‘isikan’, dan böh [bΛh] ‘buang’. Namun, dalam kalimat berikutnya yang seharusnya menggunakan tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut, tidak mereka gunakan. Ada juga masyarakat umum yang sama sekali tidak menggunakan tanda-tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan bunyi-bunyi seperti contoh-contoh di atas, tetapi anehnya mereka secara tidak konsisten menulis huruf-huruf sebagai pengganti tanda-tanda tadi. Sebagai contoh, kata bersih seharusnya ditulis gléh (ejaan 1980) atau ditulis gleh tanpa menggunakan penanda di atas huruf vokal (Asyik). Akan tetapi, masyarakat umum menulis dengan kata gleeh dan ada juga yang menulis glëh.
Keberagaman sistem penulisan ejaan bahasa Aceh seperti telah penulis kemukakan di atas jelas menghawatirkan kita, terutama masyarakat umum yang sama sekali tidak mempunyai pengetahuan yang memadai tentang lingusitik. Sebenarnya, ejaan manakah yang harus mereka ikuti? Apakah ejaan 1980 yang telah disepakati secara akademis atau ejaan umum yang sering digunakan oleh para penulis di surat kabar?
Gejala bahasa ini diamati dengan serius oleh salah seorang pakar bahasa Aceh, Abdul Gani Asyik, P.hd. yang meraih gelar doktor lingusitik di Universitas Michigan, Amerika Serikat dengan disertasi A Contextual Grammar of Acehnese Sentences pada tahun 1987. Asyik mengemukakan bahwa sejak ejaan bahasa Aceh lahir tahun 1980, para penulis bahasa Aceh terbagi ke dalam dua golongan. Golongan pertama adalah para peneliti dan penulis buku pelajaran bahasa Aceh yang setia menggunakan sistem ejaan tahun 1980 dalam setiap tulisan mereka. Golongan kedua adalah masyarakat umum, seperti penulis di surat kabar, majalah, penggubah lagu, atau penulis hikayat, yang tidak mau menggunakan tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan bunyi-bunyi karena tanda-tanda tersebut terlalu rumit ditulis dan sering membingungkan.
 Asyik kemudian mengusulkan sebuah versi ejaan bahasa Aceh dengan menghilangkan semua tanda di atas vokal-vokal itu. Di samping itu, beliau juga mengoreksi beberapa kekeliruan ejaan tahun 1980 seperti penulisan huruf b dalam rab ‘dekat’, tob ‘tikam’, yang semestinya adalah rap dan top karena tidak ada fonem /b/ di akhir kata-kata asli bahasa Aceh, serta penggabungan beu dan meu dalam beutoe ‘dekatkanlah’, meukön ‘jika bukan’, yang seharusnya ditulis terpisah karena beu dan meu pada contoh-contoh itu adalah kata, bukan awalan: beu toe, meu kön.
            Akan tetapi, usul Asyik kurang mendapat tanggapan masyarakat. Para peneliti dan penulis buku bahasa Aceh yang belum mendapat pengetahuan linguistik secara memadai masih tetap menggunakan huruf b pada akhir kata-kata asli bahasa Aceh: gob ‘orang lain’, cob ‘menjahit’, grôb ‘melompat’. Mereka juga tidak memisahkan bentuk desideratif beu dengan kata berikutnya, misalnya beujra ‘biar jera’, beumaté ‘sampai mati’, yang seharusnya adalah beu jra dan beu maté, serta tidak membedakan antara meu sebagai kata yang ditulis terpisah dari kata berikutnya, misalnya dalam meu h’an ‘jika tidak’ yang mereka tulis meuh’an, dengan meu- sebagai sebuah awalan yang memang harus ditulis gabung: meuakai ‘berakal’.
Alm. Dr. Abdul Djunaidi dalam Sistem Tulisan Alfabet Romawi dalam Penulisan Bahasa Aceh mengungkapkan bahwa masyarakat umum yang tidak menggunakan penanda pada huruf-huruf vokal juga tidak konsisten menulis huruf-huruf sebagai pengganti tanda-tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan bunyi-bunyi vokal. Berikut beberapa contoh kata Sebagaimana dikemukakan Djunaidi (2000), vokal é seperti dalam maté ‘mati’ ditulis mate atau matee, vokal è seperti dalam hèk ‘letih’ ditulis hek atau heek, vokal ö seperti dalam böh ‘buang’ ditulis menjadi boh, boeh, atau bouh, serta vokal ô seperti dalam lôn ‘saya’ ditulis lon, loen, atau loun. Djunaidi memberikan tiga catatan penting mengenai pemakaian huruf-huruf ini. Pertama, simbol huruf antara para penulis ternyata berbeda-beda. Perbedaan itu malah dapat terjadi oleh penulis itu sendiri dalam satu tulisan. Perbedaan-perbedaan tersebut bagaimanapun tidak dapat dibenarkan karena salah satu sifat bahasa adalah mempunyai sistem. Dengan demikian, perlu ditetapkan sebuah sistem standar untuk penulisan kata-kata bahasa Aceh jika tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut hendak dihilangkan. Kedua, pemunculan huruf ee sebagai pengganti huruf é akan mendapat hambatan untuk kata tertentu, misalnya asee ‘hasil’. Dalam bahasa Aceh ee dapat diartikan juga sebagai diftong, misalnya dalam kayèe ‘kayu’, abèe ‘abu’, batèe ‘batu’, sehingga kata asee dapat juga berarti ‘anjing’ karena dalam sistem tadi kata ‘anjing’ akan ditulis asee. Ketiga, pemunculan huruf oe sebagai  pengganti ô juga akan menghadapi tantangan untuk kata tertentu, misalnya taloe ‘kalah’. Dalam bahasa Aceh oe adalah diftong, seperti dalam bloe ‘beli’, lakoe ‘suami’, kamoe ‘kami’, sehingga kata taloe ‘kalah’ dapat berarti juga taloe ‘tali’. Prinsip penghilangan keambiguan suatu kata sebagaimana diharapkan penulis tidak dapat dicapai. 
Dalam judul tulisan ini, penulis sengaja mengetengahkan deretan kata krèh, kréh, dan kreuh—yang menggunakan penanda di atas huruf vokal—untuk mendeskripsikan perlunya langkah-langkah lebih serius penyosialisasian ejaan bahasa Aceh yang telah ada. Jika hal tersebut tidak dilakukan, dikhawatirkan akan terjadinya kesalahan penulisan bahasa Aceh yang nantinya akan menimbulkan kesalahan makna. Kata krèh ditulis dengan vokal è berarti ‘alat kelamin pria’, kata kréh ditulis dengan vokal é berarti ‘keris’, dan kata kreuh yang ditulis dengan vokal eu berarti ‘keras’. Nah, coba kita bayangkan apabila kata-kata di atas ditulis salah dalam penggunaan kalimat bahasa Aceh, sungguh akan sangat menggelitik kita. Contoh, meunyoe hana kreh tateugôn, lemnyan hana khong jimat. (kalau tidak ada alat kelamin pria, lemnya tidak akan kuat melengket). Sebenarnya maksud si penulis, meunyoe hana kreuh tateugôn, lemnyan hana khong jimat. (kalau tidak kuat ditekan, lemnya tidak akan kuat melengket). kata krèh (krεh) sebenarnya ditulis kréh (kr∂h). Contoh lain, boh inöng boh agam bèk èk, (alat kelamin perempuan, alat kelamin laki-laki, jangan berak), sebenarnya maksud yang dikehendaki bôh inöng bôh agam bèk ék, (baik perempuan maupun laki-laki jangan naik). Penulis menyakini rumitnya sistem ejaan bahasa Aceh itulah yang menyebabkan mereka kurang mampu menerapkannya dalam konteks kebahasaan sehari-hari sehingga sebagian mencoba-coba menulis bahasa Aceh sesuai ejaan 1980 dengan kemampuan pengetahuan kebahasaan mereka yang terbatas dan sebagian lagi sama sekali tidak mau menggunakan ejaan 1980, tetapi disayangkan mereka juga tidak konsisten menggunakan huruf-huruf sebagai pengganti huruf-huruf vokal dalam ejaan 1980.
Menurut penulis, semua fenomena tersebut dapat terjadi karena tiga hal. Pertama, penulis sependapat dengan bapak Usman Bakar bahwa ejaan resmi dan baku bahasa Aceh yang ada sekarang terlalu rumit sehingga perlu ditata kembali (Kontras 2004),  kedua, kelunturan sikap berbahasa Aceh oleh penuturnya sendiri yang sulit kita bendung akibat dari arus globalisasi, ketiga, sikap berbahasa orang Aceh yang cenderung lebih senang menggunakan ejaan bahasa Indonesia yang jauh lebih praktis penggunaannya. Akan tetapi, diantara alasan tersebut,  alasan dominan yang menyebabkan sebagian besar orang Aceh malas menulis dengan bahasa daerahnya sendiri disebabkan ejaan bahasa Aceh (Ejaan 1980) terlalu rumit dan banyaknya kaidah-kaidah dalam penulisan, seperti pembubuhan tanda-tanda tertentu pada huruf-huruf vokal tunggal, misalnya ô pada kata jalô (sampan), é pada kata tabék (hormat), è pada kata bèk (jangan), dan ö pada kata keuböh (kebas). Penggunaan kata penghubung untuk memisahkan dua vokal, seperti ka-reueng (karang), meu-h’ai (mahal), keu-eueng (pedas), dan beberapa ketentuan lainnya.
 Sampai saat ini, pembakuan bahasa Aceh pada umumnya belum dilakukan. Padahal, pembakuan ini sangat penting guna menciptakan komunikasi yang luas dan efektif di kalangan masyarakat pemakai bahasa Aceh. Pembakuan yang telah dilakukan sampai dengan saat ini baru berupa ejaan bahasa Aceh. Akan tetapi, itu pun tidak ditaati oleh semua penulis. Sementara itu, pembakuan pedoman tata istilah, kamus, dan tata bahasa sampai dengan saat ini sama sekali belum ada. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila bahasa Aceh belum mampu menjadi alat komunikasi yang luas dan efektif di kalangan masyarakat pendukungnya. Penulis menganggap sudah saatnya para pakar bahasa Aceh memikirkan ejaan bahasa Aceh yang baku, sederhana, dan mampu diimplementasikan di lapangan. Dengan demikian, perlu diadakan kongres bahasa Aceh yang menjadi tempat pengukuhan dan pengesahan isu-isu tentang bahasa Aceh dan segera disosialisasikan. Kalau semua itu tidak kita pedulikan dari sekarang, kita merasa sangat khawatir akan keberadaan bahasa Aceh ke depan. Sampai kapan keberagaman penulisan ejaan bahasa Aceh ini akan terjadi?

Minggu, 19 Juni 2011

Lilin Al Hariry Yang Tak Pernah Pudar

Lilin
Rahmat

…aku merasa bahwa cahayaku telah hampir padam, karena zat yang ada dalam diriku telah semakin habis. Kelilingku telah mulai sunyi, karena mereka yang semata-mata memerlukan cahaya telah mencari lilin yang lain. Aku merasa sangat berbahagia, karena ditakdirkan Tuhanku menjadi lilin. Aku mengerti bahwa pada satu saat yang tidak lama lagi zatku akan habis dan cahayaku akan padam. Tetapi, aku yakin bahwa apabila malam telah datang lagi, nanti mereka terkenang kembali akan cahayaku dan zatku yang telah menjadi jejak lantaran terbakar akan dipuja.
Nanggroe Aceh Darussalam telah ditinggal oleh tokoh agama, negarawan, dan sastrawan islami ini. Akan tetapi, nama dan hasil karyanya selalu indah untuk kita kaji dan teliti. Beliau adalah Prof Ali Hasymi, pujangga besar Aceh yang tergolong ke dalam angkatan pujangga baru yang beraliran romantik. Penyair yang terkenal dengan nama samaran Aria Hadiningsun, Al Hariry dan Asmara Hakiki ini selain dikenal sebagai sebagai penulis puisi handal, juga dikagumi sebagai penulis cerpen dan roman yang bermutu. Puisi-puisi beliau banyak dikaji selain karena sarat dengan penggunaan kosakata sederhana dan padat makna, tetapi juga karena tajam dengan permainan bahasa kiasan dan penggunaan sarana retorika yang apik dan dinamis. Sementara, cerpen-cerpen beliau diminati karena sarat dengan tema sosial yang dibumbui pesan dan amanat terhadap pembaca dan penikmat karya sastranya.
Sebagai sastrawan yang berbasis pendidikan islam dan lingkungan yang agamis, dapat dikatakan bahwa secara umum karya-karya penyair besar Aceh ini, baik puisi, cerpen maupun roman, secara keseluruhan bernafaskan nilai-nilai keagamaan (Islam). Dalam pandangan beliau, tugas seorang sastrawan sejati adalah sebagai khalifah Allah yang mengerti akan posisi dan jati dirinya sebagai seorang muslim yang baik yang mempunyai tanggung jawab moral menegakkan amar makruf nahi mungkar dimanapun, siapapun, dan apapun profesi yang digelutinya. Pendapat beliau ini selaras dengan fungsi sastra itu sendiri yang menganut prinsip dulce ‘manis, menyenangkan’ dan utile ‘berguna, bermanfaat’. Menurut Tirtosuwondo dalam bukunya Studi Sastra-beberapa alternatif, sebuah karya sastra yang baik, tentunya mengandung  tujuan yaitu membina, mendidik, dan membentuk pribadi pembaca.    
Salah satu cerpen beliau yang tinggi nilai seninya adalah cerpen Lilin yang terbit di harian Tegas pada tahun 1950, terletak di ujung buku antologi puisi dan cerpen Rindu Bahagia (1960). Cerpen ini menceritakan tentang kehidupan tokoh Hamdan, seorang politikus muda, pimpinan sebuah partai islam yang tabah, penyabar, simpatik, ramah, murah senyum, dan periang. Selain dikenal sebagai politikus muda berbakat, Hamdan dikenal juga sebagai cendekiawan yang pandai menulis dan ahli pidato. Hamdan beristerikan Habibah, seorang anggota pengurus partai politik wanita nasionalis. Kehidupan rumah tangga mereka di awal perkawinan kelihatan bahagia. Namun, tidak lama kemudian perbedaan prinsip dalam mengarungi  aktifitas masing-masing membuat jarak di antara dua insan ini, sampai akhirnya merekapun bercerai. Perceraian ini tentunya sangat menghebohkan dan menjadi isu hangat kampung mereka. Banyak opini yang berkembang dalam masyarakat kampung mereka, ada yang pro, ada juga yang kontra. Kalangan yang kontra berusaha membuat kedua pasangan ini bersatu kembali, sementara kalangan yang pro merasa mendapat angin segar untuk mengajak Hamdan berumah tangga lagi. Segala usaha dari berbagai kalangan tidak berhasil, karena mereka tidak mengetahui hakekat persoalan yang membuat pasangan ini bercerai. Sebenarnya, perceraian adalah suatu hal yang sangat dikhawatirkan Hamdan, karena sejak hari pertama perkawinan mereka, Hamdan telah merasakan adanya perbedaan prinsipil antara ia dengan isterinya. Hamdan yang sederhana gaya hidupnya tidak dapat memenuhi keinginan isterinya untuk hidup mewah dan serba ada. Filsafat lilin menjadi semboyan hidup Hamdan. Ia merasa dirinya telah ditakdirkan Tuhan menjadi “lilin” yang memberi cahaya kepada orang lain meskipun diri dan zatnya sendiri habis terbakar. Falsafah Jalan hidup Hamdan ini yang membuat Habibah meminta agar Hamdan melepaskan dirinya dari lingkungan Hamdan. Hamdan tidak pernah menyalahkan Habibah karena permintaan tersebut. “Dengan tidak ragu-ragu Habibah kulepaskan kembali ke dalam masyarakat dan mungkin nanti bersama-sama dengan anggota masyarakat lainnya ia akan melihat harapan dari cahaya lilinku”, jawab Hamdan pada setiap orang yang bertanya padanya. Cerpan ini diakhiri dengan catatan manis yang sangat puitis yang penulis tulis di awal tulisan ini. Menurut penulis, catatan tersebut begitu kuat pengaruh, daya tarik dan maknanya.
Hal yang menarik adalah simbol atau lambang lilin yang beliau gambarkan dalam tokoh Hamdan menurut penulis adalah sosok pribadi A. Hasymi sesungguhnya yang teramat peduli bagi semua yang membutuhkan di luar lingkungan pribadi penyair itu sendiri. Simbol lilin kadang terasa asing bagi orang-orang yang tidak peka batinnya terhadap lingkungan sekitar. “Sebatang lilin tidak pernah mengharap sesuatu dari daerah lingkungan yang pernah mengambil sinar dari cahayanya”, begitu ungkapan Hamdan pada Salimah, tokoh separtai dengan Hamdan yang hendak memilikinya setelah berpisah dari Habibah yang sulit menerima dan memahami kepribadian Hamdan yang bersifat lilin.
Dalam cerpen ini, A. Hasymi mencoba mengingatkan kita untuk memahami kembali hakekat kehidupan manusia yang tidak mungkin lepas dari lingkungan sekitar meskipun kehidupan di sekitar kita itu diliputi debu jalanan, sampah, dan kotoran. Kita kadang harus memahami sampah dan kotoran dapat diolah kembali menjadi bahan-bahan yang bermanfaat bagi kehidupan orang banyak termasuk orang-orang yang alergi dengan debu jalanan, sampah, dan kotoran itu sendiri. Semoga kita dengan profesi apapun yang sedang kita geluti mampu memetik manfaat dari cerpen ini.

Ejaan Bahasa Aceh, nasibmu?

            Kréh, krèh, kreuh, Siapa Peduli?
Rahmat, S.Ag.

Bahasa Aceh adalah salah satu bahasa daerah yang ada di nusantara ini yang perlu dijaga dan dipelihara kelangsungan hidupnya.Pembinaan, pengembangan dan pelestarian bahasa Aceh perlu dilakukan agar fungsi bahasa Aceh dapat berperan sebagaimana mestinya. Bahasa Aceh, selain digunakan di lembaga pendidikan formal, juga digunakan oleh masyarakat umum. Seperti halnya pemakaian bahasa Aceh di lembaga pendidikan formal, pemakaian bahasa Aceh di masyarakat umum seharusnya juga tetap dilakukan langkah-langkah pembinaan dan pengembangan.Dengan demikian, bahasa Aceh yang digunakan di masyarakat tetap dapat dipantau supaya dapat menjalankan fungsinya.
            Akhir-akhir ini, pemakaian bahasa Aceh di masyarakat umum telah mengalami suatu keadaan yang menuntut perhatian serius para linguis.Banyak pemakaian bahasa Aceh yang sudah tidak mengikuti kaidah yang ada. Bila hal ini dibiarkan akan memperparah usaha  pelestarian bahasa Aceh di masa-masa mendatang.
Beberapa fakta di lapangan menunjukkan indikasi tersebut, misalnya pemakaian bahasa Aceh di media luar ruang, seperti di surat kabar, spanduk, stiker, baju, papan reklame, dan beberapa media massa lainnya. Hadirnya berbagai macam LSM Pascatsunami, baik dalam maupun luar negeri, telah menghadirkan masalah tersendiri dalam aspek kebahasaan. Banyak program kegiatan mereka diberi nama dan tema menggunakan bahasa Aceh agar menghadirkan kesan akrab bagi pengungsi. Akan tetapi, sangat disayangkan pemberian nama program mereka dengan penggunaan bahasa Aceh sama sekali tidak memedulikan kaidah tata bahasa Aceh. Berikut ini beberapa contoh penulisan spanduk yang ditulis oleh beberapa LSM yang penulis jadikan sampel dalam tulisan ini.
(1)    “Gampong yang gleeh dan sihat cerminan
hatee guetanyoe mandum”
Sesuai dengan ejaan 1980, kalimat (1) seharusnya ditulis (1a) ”Gampông nyang gléh ngön sèhat ceureumén haté geutanyoe bandum"(GampoG YaG  glEh Gon sihat cωrωmEn hatE gωtaYow bandum)atauditulis tanpa menggunakan tanda-tanda fonetis seperti yang ditawarkan oleh Abdul Gani Asyik, Phd., dalam makalah Beliau “Transliterasi Bahasa Aceh” pada penataran Bahasa Aceh di Bireuen, tanggal 23—27 September 2003, yaitu (1b) ”Gampong nyang gleh ngon sihat ceureumen hate geutanyoe bandum".
Kata “yang” dalam bahasa Aceh seharusnya “nyang”, kata“cerminan adalah kata bahasa Indonesia, seharusnya ditulis padanan kata bahasa Aceh ceureumén.Kata hatee ditulis dengan haté (bunyi vokal depan [e] yang dihasilkan dengan cara menempatkan ujung lidah ke depan seperti kata sate dalam bahasa Indonesia. Kata guetanyoe seharusnya ditulis geutanyoe (pronomina pertama jamak-kita) dengan lambang bunyi vokal [ω], dan kata mandum seharusnya ditulis bandum yang berarti semua.
(2)    “Krue seumangat Aceh damai, beusapeu pakat, beusapee kheun, junjong martabat Aceh Mulia”..
            Kalimat tersebut seharusnya ditulis “krue seumangat Aceh damé, beusapeu pakat, beusapeu kheun, junjông maruwah aceh mulia”dengan lambang fonetis Kruw s&manGat AcEh damEy, b&sapωpakat, b&sapωkh&n, junjOG maruwah AcEh Muliya...Kata damai adalah bahasa Indonesia, seharusnya diganti dengan kata damè, kata beusapee seharusnya beusapeu yang berarti hendaknya sama-sama, dan kata martabat adalah bahasa Indonesia seharusnya diganti dengan kata maruwah.
(3) “Beudoh beusaree tabangun nanggroe”
Seharusnya kalimat tersebut ditulis Beudoh beusaré tapeudong nanggroe” d
             Kata beusaree seharusnya beusaré atau beusare.Kata  tabangunmerupakan campur kode antara bahasa Aceh dengan bahasa Indonesia. Seharusnya kata tersebut ditulis tapeudong.Sementara itu, kata bangun adalah kosakata bahasa Indonesia.
            Timbul pertanyaan dalam diri penulis, mengapa begitu banyak kesalahan dilakukan ketika kebanyakan orang Aceh hendak menulis bahasa Aceh yang benar? Janganlah heran kalau pertanyaan yang paling susah dijawab bagi kebanyakan orang Aceh adalah bagaimana menulis bahasa Aceh yang baik dan benar. Pertanyaan tersebut semakin sulit dijawab ketika keberagaman teknik penulisan ejaan bahasa Aceh yang berkembang dalam masyarakat.Ternyata, bukan hanya ejaan Budiman Sulaiman yang dijadikan pedoman, tetapi juga masih ada beberapa ejaan lainnya.
Sayangnya, penggunaan ejaan di kalangan masyarakat sama sekali tidak mematuhi aturan ketatabahasaan yang ada dan tidak konsisten dalam penerapannya. Kadang-kadang, dalam satu kalimat, mereka memakai tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan bunyi-bunyi, misalnya antara ék [ek] ‘naik’ dan èk [εk] ‘kotoran’, antara le [lə]’banyak’ dan [le] ‘oleh’, antara boh [bƆh] ‘buah’, bôh [boh] ‘isikan’, dan böh [bΛh] ‘buang’.
Namun, dalam kalimat berikutnya yang seharusnya menggunakan tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut, tidak mereka gunakan. Ada juga masyarakat umum yang sama sekali tidak menggunakan tanda-tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan bunyi-bunyi seperti contoh-contoh di atas, tetapi anehnya mereka secara tidak konsisten menulis huruf-huruf sebagai pengganti tanda-tanda tadi. Sebagai contoh, kata bersih seharusnya ditulis gléh (ejaan 1980) atau ditulis gleh tanpa menggunakan penanda di atas huruf vokal (Asyik).Akan tetapi, masyarakat umum menulis dengan kata gleeh dan ada juga yang menulis glëh.
Keberagaman sistem penulisan ejaan bahasa Aceh seperti telah penulis kemukakan di atas jelas menghawatirkan kita, terutama masyarakat umum yang sama sekali tidak mempunyai pengetahuan yang memadai tentang lingusitik. Sebenarnya, ejaan manakah yang harus mereka ikuti? Apakah ejaan 1980 yang telah disepakati secara akademis atau ejaan umum yang sering digunakan oleh para penulis di surat kabar?
Gejala bahasa ini diamati dengan serius oleh salah seorang pakar bahasa Aceh, Abdul Gani Asyik, P.hd. yang meraih gelar doktor lingusitik di Universitas Michigan, Amerika Serikat dengan disertasi A Contextual Grammar of Acehnese Sentences pada tahun 1987.Asyik mengemukakan bahwa sejak ejaan bahasa Aceh lahir tahun 1980, para penulis bahasa Aceh terbagi ke dalam dua golongan.Golongan pertama adalah para peneliti dan penulis buku pelajaran bahasa Aceh yang setia menggunakan sistem ejaan tahun 1980 dalam setiap tulisan mereka. Golongan kedua adalah masyarakat umum, seperti penulis di surat kabar, majalah, penggubah lagu, atau penulis hikayat, yang tidak mau menggunakan tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan bunyi-bunyi karena tanda-tanda tersebut terlalu rumit ditulis dan sering membingungkan.
Asyik kemudian mengusulkan sebuah versi ejaan bahasa Aceh dengan menghilangkan semua tanda di atas vokal-vokal itu.Di samping itu, beliau juga mengoreksi beberapa kekeliruan ejaan tahun 1980 seperti penulisan huruf b dalam rab ‘dekat’, tob ‘tikam’, yang semestinya adalah rap dan top karena tidak ada fonem /b/ di akhir kata-kata asli bahasa Aceh, serta penggabungan beu dan meu dalam beutoe ‘dekatkanlah’, meukön ‘jika bukan’, yang seharusnya ditulis terpisah karena beu dan meu pada contoh-contoh itu adalah kata, bukan awalan: beu toe, meu kön.
Akan tetapi, usul Asyik kurang mendapat tanggapan masyarakat. Para peneliti dan penulis buku bahasa Aceh yang belum mendapat pengetahuan linguistik secara memadai masih tetap menggunakan huruf b pada akhir kata-kata asli bahasa Aceh: gob ‘orang lain’, cob ‘menjahit’, grôb ‘melompat’. Mereka juga tidak memisahkan bentuk desideratif beu dengan kata berikutnya, misalnya beujra ‘biar jera’, beumaté ‘sampai mati’, yang seharusnya adalah beu jra dan beu maté, serta tidak membedakan antara meu sebagai kata yang ditulis terpisah dari kata berikutnya, misalnya dalam meu h’an ‘jika tidak’ yang mereka tulis meuh’an, dengan meu- sebagai sebuah awalan yang memang harus ditulis gabung: meuakai ‘berakal’.
Dr. Abdul Djunaidi dalam Sistem Tulisan Alfabet Romawi dalam Penulisan Bahasa Aceh mengungkapkan bahwa masyarakat umum yang tidak menggunakan penanda pada huruf-huruf vokal juga tidak konsisten menulis huruf-huruf sebagai pengganti tanda-tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan bunyi-bunyi vokal. Berikut beberapa contoh kata Sebagaimana dikemukakan Djunaidi (2000), vokal é seperti dalam maté ‘mati’ ditulis mate atau matee, vokal è seperti dalam hèk ‘letih’ ditulis hek atau heek, vokal ö seperti dalam böh ‘buang’ ditulis menjadi boh, boeh, atau bouh, serta vokal ô seperti dalam lôn ‘saya’ ditulis lon, loen, atau loun. Djunaidi memberikan tiga catatan penting mengenai pemakaian huruf-huruf ini.
Pertama, simbol huruf antara para penulis ternyata berbeda-beda.Perbedaan itu malah dapat terjadi oleh penulis itu sendiri dalam satu tulisan.Perbedaan-perbedaan tersebut bagaimanapun tidak dapat dibenarkan karena salah satu sifat bahasa adalah mempunyai sistem.Dengan demikian, perlu ditetapkan sebuah sistem standar untuk penulisan kata-kata bahasa Aceh jika tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut hendak dihilangkan.
Kedua, pemunculan huruf ee sebagai pengganti huruf é akan mendapat hambatan untuk kata tertentu, misalnya asee ‘hasil’. Dalam bahasa Aceh ee dapat diartikan juga sebagai diftong, misalnya dalam kayèe ‘kayu’, abèe ‘abu’, batèe ‘batu’, sehingga kata asee dapat juga berarti ‘anjing’ karena dalam sistem tadi kata ‘anjing’ akan ditulis asee. Ketiga, pemunculan huruf oe sebagai  pengganti ô juga akan menghadapi tantangan untuk kata tertentu, misalnya taloe ‘kalah’. Dalam bahasa Aceh oe adalah diftong, seperti dalam bloe ‘beli’, lakoe ‘suami’, kamoe ‘kami’, sehingga kata taloe ‘kalah’ dapat berarti juga taloe ‘tali’. Prinsip penghilangan keambiguan suatu kata sebagaimana diharapkan penulis tidak dapat dicapai.
Dalam judul tulisan ini, penulis sengaja mengetengahkan deretan kata krèh, kréh, dan kreuh—yang menggunakan penanda di atas huruf vokal—untuk mendeskripsikan perlunya langkah-langkah lebih serius penyosialisasian ejaan bahasa Aceh yang telah ada. Jika hal tersebut tidak dilakukan, dikhawatirkan akan terjadinya kesalahan penulisan bahasa Aceh yang nantinya akan menimbulkan kesalahan makna.
Kata krèh ditulis dengan vokal è berarti ‘alat kelamin pria’, kata kréh ditulis dengan vokal é berarti ‘keris’, dan kata kreuh yang ditulis dengan vokal eu berarti ‘keras’. Nah, coba kita bayangkan apabila kata-kata di atas ditulis salah dalam penggunaan kalimat bahasa Aceh, sungguh akan sangat menggelitik kita. Contoh, meunyoe hana kreh tateugôn, lemnyan hana khong jimat. (kalau tidak ada alat kelamin pria, lemnya tidak akan kuat melengket). Sebenarnya maksud si penulis, meunyoe hana kreuh tateugôn, lemnyan hana khong jimat.(kalau tidak kuat ditekan, lemnya tidak akan kuat melengket). katakrèh (krεh) sebenarnya ditulis kréh (kr∂h). Contoh lain, boh inöng boh agam bèk èk, (alat kelamin perempuan, alat kelamin laki-laki, jangan berak), sebenarnya maksud yang dikehendaki bôh inöng bôh agam bèk ék, (baik perempuan maupun laki-laki jangan naik).        
Penulis menyakini rumitnya sistem ejaan bahasa Aceh itulah yang menyebabkan mereka kurang mampu menerapkannya dalam konteks kebahasaan sehari-hari sehingga sebagian mencoba-coba menulis bahasa Aceh sesuai ejaan 1980 dengan kemampuan pengetahuan kebahasaan mereka yang terbatas dan sebagian lagi sama sekali tidak mau menggunakan ejaan 1980, tetapi disayangkan mereka juga tidak konsisten menggunakan huruf-huruf sebagai pengganti huruf-huruf vokal dalam ejaan 1980.
            Menurut penulis, semua fenomena tersebut dapat terjadi karena tiga hal.Pertama, penulissependapat dengan bapak Usman Bakar bahwaejaan resmi dan baku bahasa Aceh yang ada sekarang terlalu rumit sehingga perlu ditata kembali (Kontras 2004),  kedua, kelunturan sikap berbahasa Aceh oleh penuturnya sendiri yang sulit kita bendung akibat dari arus globalisasi, ketiga, sikap berbahasa orang Aceh yang cenderung lebih senang menggunakan ejaan bahasa Indonesia yang jauh lebih praktis penggunaannya.
            Akan tetapi, diantara alasan tersebut,  alasan dominan yang menyebabkan sebagian besar orang Aceh malas menulis dengan bahasa daerahnya sendiri disebabkan ejaan bahasa Aceh (Ejaan 1980) terlalu rumit dan banyaknya kaidah-kaidah dalam penulisan, seperti pembubuhan tanda-tanda tertentu pada huruf-huruf vokal tunggal, misalnya ô pada kata jalô (sampan), é pada kata tabék (hormat), è pada kata bèk (jangan), dan ö pada kata keuböh (kebas).Penggunaan kata penghubung untuk memisahkan dua vokal, seperti ka-reueng (karang), meu-h’ai (mahal), keu-eueng (pedas), dan beberapa ketentuan lainnya.
            Sampai saat ini, pembakuan bahasa Aceh pada umumnya belum dilakukan.Padahal, pembakuan ini sangat penting guna menciptakan komunikasi yang luas dan efektif di kalangan masyarakat pemakai bahasa Aceh.Pembakuan yang telah dilakukan sampai dengan saat ini baru berupa ejaan bahasa Aceh.Akan tetapi, itu pun tidak ditaati oleh semua penulis. Sementara itu, pembakuan pedoman tata istilah, kamus, dan tata bahasa sampai dengan saat ini sama sekali belum ada.
            Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila bahasa Aceh belum mampu menjadi alat komunikasi yang luas dan efektif di kalangan masyarakat pendukungnya. Penulis menganggap sudah saatnya para pakar bahasa Aceh memikirkan ejaan bahasa Aceh yang baku, sederhana, dan mampu diimplementasikan di lapangan. Dengan demikian, perlu diadakan kongres bahasa Aceh yang menjadi tempat pengukuhan dan pengesahan isu-isu tentang bahasa Aceh dan segera disosialisasikan. Kalau semua itu tidak kita pedulikan dari sekarang, kita merasa sangat khawatir akan keberadaan bahasa Aceh ke depan. Sampai kapan keberagaman penulisan ejaan bahasa Aceh ini akan terjadi?

H’iem, Sastra lisan Tradisional Masyarakat Aceh

H’iem, Sastra lisan Tradisional Masyarakat Aceh
Rahmat, S.Ag.
Balai Bahasa Aceh


Masyarakat Aceh dari dulu terkenal sebagai masyarakat dengan tradisi lisan yang kental, berbagai macam informasi tentang sejarah, budaya, ilmu pengetahuan, dan sastra diturunkan secara turun temurun dengan bertutur kata secara lisan dari generasi ke generasi secara alamiah. Budaya ini setidaknya memberikan warna tersendiri dalam pertumbuhan, perkembangan, dan pewarisan nilai-nilai “keAcehan” ke generasi selanjutnya dengan kelebihan dan kekurangannya.
Dalam dunia sastra, kita juga sering menemui karya-karya sastra dengan ciri kebiasaan yang tidak tertulis, artinya para penciptanya mewariskan karya-karyanya itu melalui tradisi lisan. Oleh karena itu, peran pawang (ahli sastra) dalam pewarisan karya sastra sangat menentukan. Periode ini berlangsung dalam era periodesasi sastra Aceh zaman lama. Dalam periode ini, sangat banyak karya sastra yang dilahirkan, namun tidak diketahui penciptanya. Pada umumnya karya sastra zaman ini berbentuk prosa, seperti Haba Jameun (cerita lama), hikayat, puisi, seperti neurajah (mantra), dan karya berupa pantôn (pantun) dan narit maja atau hadih maja (peribahasa) (Saifuddin Mahmud, 2003:1).
Kesusastraan Aceh zaman baru dimulai sejak masuknya Islam ke Aceh pada abad ke-7 masehi. Bentuk karya sastra saat itu tidak jauh berbeda dari sebelumnya, masih berupa prosa dan puisi. Akan tetapi, tema-tema yang berbau animisme zaman hindu klasik sudah tidak dipakai lagi diganti dengan tema-tema Islami dengan ciri adanya permulaan kata basmallah, penggunaan kutipan ayat-ayat Alquran, dan pujian-pujian  kepada Allah SWT (Saifuddin Mahmud, 2003:3).
Pada zaman revolusi, kesusastraan memegang peranan yang sangat penting meskipun perkembangannya tidak begitu pesat. Pada umumnya karya sastra zaman itu berupa hikayat yang bertemakan patriotisme. Kekuatan magis nilai sastra yang terkandung dalam hikayat benar-benar telah menghipnotis ribuan pejuang Aceh saat itu untuk mengobarkan perang suci demi mempertahankan jengkal demi jengkal tanah Aceh tercinta. Hikayat yang paling terkenal adalah Hikayat Prang Sabi, karya Tgk Chik Panté Kulu.
Dalam edisi ini kita tidak akan membahas sastra-sastra lisan Aceh secara keseluruhan, tetapi kita hanya akan mencoba mengkaji tentang salah satu sastra lama Aceh yang berbentuk lisan, yaitu h’iem. Dalam bahasa Indonesia, h’iem disebut teka-teki. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwadarminta, 1986:1033) dijelaskan bahwa teka-teki berarti ‘soal yang berupa kalimat (cerita, gambar, dsb.) sebagai permainan atau untuk mengasah pikiran; tebakan; penerka. H’iem berbeda dengan teka-teki dalam kesusastraan Indonesia pada umumnya. H’iem sebagai salah satu sastra lisan masyarakat Aceh yang sangat tradisional tidak hanya sekedar sebuah teka-teki, tetapi mengandung nilai-nilai pendidikan, agama, sosial, dan pengetahuan dengan penalaran yang tinggi.
Dalam masyarakat Aceh, h’iem dipergunakan sebagai sarana untuk menyampaikan nilai-nilai budaya, pengetahuan dengan metode pembelajaran yang bebas, kreatif dan inovatif. H’iem juga tidak memandang batas tingkatan umur. Pemakainya bukan hanya sesama orang tua, melainkan juga digunakan antara orang tua dengan pemuda atau anak-anak (Wildan, 1997) .  
Perkembangan h’iem lambat laun mengalami penurunan seperti sastra-sastra lisan tradisional lainnya, desakan arus globalisasi dan transformasi budaya telah menjadikan h’iem mulai ditinggalkan generasi Aceh. Jarang sekali kita temukan budaya ”berh’iem ria” dalam interaksi sosial masyarakat Aceh saat ini. Mereka lebih suka mengisi teka-teki silang yang dijual bebas di pasaran untuk mengisi waktu luang mereka atau dengan mengikuti trend sayembara di media elektronika. Gejala dan fenomena ini telah menyebabkan pergeseran yang signifikan terhadap budaya sastra lisan masyarakat Aceh pada umumnya.  
Kajian tentang h’iem pernah dilakukan oleh Wildan, dkk. (1995 dan 1997) tentang h’iem dialek Peusangan, sebuah daerah di Kabupaten Aceh Utara, dan tentang h’iem dialek Pidie (2000) di Kabupaten Pidie. Berdasarkan dua penelitian tersebut dapat diklarifikasikan bahwa h’iem berbentuk puisi dan prosa. H’iem berbentuk puisi ada empat macam, yaitu h’iem satu larik, h’iem dua larik, h’iem tiga larik, dan h’iem empat larik. H’iem berbentuk prosa ada tiga jenis, yaitu h’iem berbentuk pertanyaan langsung, h’iem berbentuk pertanyaan bercerita, dan h’iem berbentuk dialog.
Meskipun belum ada penelitian secara ilmiah tentang h’iem di beberapa daerah Aceh lainnya, tetapi secara umum h’iem dalam masyarakat Aceh sama. Masyarakat Aceh pada umumnya menempatkan h’iem sebagai sarana rekreasi, sarana kreasi, dan sarana pendidikan. Secara spesifik berdasarkan penelitian yang telah dilakukan masyarakat menggunakan h’iem sebagai sarana untuk menyampaikan pesan pengetahuan, agama, dan sebagai sarana pengasah otak atau untuk meningkatkan kecerdasan. Di bawah ini akan penulis kemukakan beberapa contoh h’iem berbentuk puisi, yaitu (1) H’iem satu larik, dara barô dalam pageu (boh aneuh)/ pengantin wanita dalam pagar (buah nenas), Ta ceupét bak iku hu aneuk mata (rukok)/dipencet ekornya merah biji matanya (rokok). (2) H’iem dua larik, bak sibak ôn siôn, beurangkajan thôn h’an mala-mala (aweuk)/ batang sebatang daun selembar, kapan saja tidak akan layu (centong), ureueng maté geubalôt ngön gafan, geutiek lam kulam geukhém meukhèk-khèk (bada)/ orang mati dibalut dengan kafan,  dilempar dalam kolam tertawa terbahak-bahak (pisang goreng).  (3) H’iem tiga larik, bakjih ubé tông, ônjih ubé eumping, bohjih kuwieng-kuwieng (bak mè)/ batangnya sebesar tong, daunnya sebesar emping, buahnya bengkok-bengkok (pohon asam), (4) H’iem empat larik, bak di laôt boh di darat, cabeueng han mupat boh jih kana, ladôm hijô ladôm coklat, meunyoe tatupat toh keutanda (boh pukat)/ batang di laut buah di darat, cabang tak ada buahnya ada, kalau kamu tahu apa tandanya (buah pukat).
H’iem berbentuk prosa dapat dikelompokkan atas tiga jenis, yaitu (1) H’iem berbentuk pertanyaan langsung, bak sigala bak, ôn sigala ôn, peu ôn nyang raya that di dônya nyoe? (ôn tutôp bumoe)/ batang segala batang, daun segala daun, daun apa yang paling besar di dunia (daun tutup bumi). (2)  H’iem berbentuk pertanyaan bercerita, meunyoe gob han tom sakét, dijih han tom teupét, neuci peusabét peu makna? (bola lèstrék)/ kalau orang tak pernah sakit, dia tak pernah terpejam matanya, coba anda analisa apa maknanya? (bola listrik). (3) H’iem berbentuk dialog, “da, da, soe tuha gata ngön kèe?” “ Hom hai, adoe,” “lhèe uroe lheuh maté ma,  na kèe (aneuk bak pisang)/ “kak, kak, siapa lebih tua kakak daripada saya?” “tidak tahu, Dik” “tiga hari setelah ibu meninggal, saya lahir” (bibit pohon pisang).
H’iem dalam masyarakat Aceh banyak ragam dan jenis sesuai dengan nilai yang dikandung, contoh h’iem dengan muatan nilai sosial, jiduek meukuwien tapéh, ji éh meukuwien tima, jijak sabé meudhöt-dhöt, han tom göt si umu dônya (asè)/ duduknya sebengkok sabut, tidurnya sebengkok timba, ia berjalan seperti berlari-lari, tak pernah sempurna seumur dunia (anjing). Kadang juga h’iem dapat diklasifikasikan sesuai objek penciptaaan h’iem itu sendiri. Berbagai objek konkret dalam lingkungan sekitar dijadikan bahan kreasi sang pencipta h’iem, seperti, ta ék u glé, ta trôn di glé, meuteumèe ie saboh baté (ie u)/ naik bukit, turun bukit, bertemu air satu cawan (air kelapa). H’iem juga dapat dikategorikan sesuai tingkatan umur, artinya ada h’iem yang hanya digunakan oleh pemakai usia dewasa, remaja, dan anak-anak, karena ada juga h’iem yang terkesan tabu bagi anak-anak yang belum cukup umur karena mengandung nilai pornografi, contoh ‘oh noe ‘oh Medan, boh Cina meugeuratan, geupluk silapéh putéh lagèe gafan (boh ubi)/ dari sini sampai ke Medan, pelir orang Cina berkaratan, dikupas selapis,putih bagai kain kafan (buah ubi). Saboh syiah, jipoe u Grông-grông, dua krèk ija han teutôp punggông (lalat)/  satu syiah (gerombolan binatang), terbang ke Grong-grong (nama daerah di Pidie), dua helai kain tak tertutup pantat (lalat).
Dari uraian dan data dari penelitian yang dilakukan, kita dapat mengambil simpulan bahwa h’iem tidak hanya sekedar teka-teki biasa, terdapat nilai-nilai yang tersirat dibalik daya kreasi penciptaan h’iem. Para pendahulu kita menyadari metodologi pendidikan tidak hanya dapat ditempuh melalui sarana pendidikan formal, tetapi juga dapat diberikan melalui sarana sastra lisan yang rileks dan tidak monoton melalui daya kreasi h’iem misalnya. Ketirisan diglosia (penulis meminjam istilah linguistik) terhadap identitas sastra lisan seperti h’iem bukan karena ia sudah tidak relavan lagi dengan dunia yang semakin canggih, tetapi kita sebagai generasi penerus yang ‘kalau’ masih mau dikatakan sebagai penikmat karya sastra tersebut sudah sangat memprihatinkan tingkat kepedulian kita untuk mengadakan upaya pemertahanan sastra-sastra lisan daerah. Kasus-kasus ini penulis yakin tidak hanya terjadi di Aceh saja, tetapi hampir terhadap dunia sastra lisan masyarakat nusantara ini. 
H’iem sebagai salah satu khazanah budaya bangsa kiranya dapat dipertahankan dengan kepedulian semua pihak terkait. Penelitian-penelitian yang dilakukan perlu kiranya didukung oleh pemerintah daerah. Penelitian tentang h’iem adalah salah satu simbol yang dapat dijadikan acuan bahwa penelitian–penelitian terhadap berbagai bentuk sastra perlu diperhatikan dengan serius dan kontinyu. Pemertahanan terhadap karya-karya sastra Aceh sudah sangat mendesak untuk dibudayakan kembali. Sudah saatnya dipertimbangkan pembelajaran dan pengajaran sastra Aceh di sekolah-sekolah sebagai materi muatan lokal. Saat ini hanya pengajaran bahasa Aceh yang baru dilakukan, itupun hanya sebatas syarat pelengkap saja. Kita khawatir sastra kita akan terjebak dalam hukum seleksi alam dimana suatu budaya yang kalah dalam persaingan global pelan-pelan terpinggirkan, terus tergeser, terjepit, dan akhirnya sekarat sebagai akibat ketirisan diglosia tadi.
Saya tertarik dengan apa yang pernah disampaikan oleh prof. Dr. Asim Gunarwan, dosen pascasarjana program magister linguistik dalam seminar Kongres Masyarakat Linguistik Nasional XI di Padang, Sumatera Barat. Beliau mengungkapkan bahwa kasus-kasus pergeseran bahasa di tanah air sudah sangat mengkhawatirkan kita. Ada petunjuk yang mengisyaratkan bahwa di ranah rumah makin muda orang daerah makin kurang kuantitas penggunaan bahasa daerahnya (BD), mereka cenderung memakai bahasa Indonesia (BI). Hal ini menunjukkan bahwa BI menjadi bahasa primernya, dan hal ini sah-sah saja. Lebih-lebih ketika BI hasil ekspansi dari Bahasa Melayu (BM) resmi menjadi bahasa negara dan bahasa pengantar dunia pendidikan. Akan tetapi, masalahnya: mengapa penggunaan BD di ranah rumah menurun? Padahal kita mengetahui jumlah penutur yang terus mengecil dapat menyebabkan suatu bahasa sangat rentan punah.
Isyarat yang dikemukakan Prof. Dr. Asim Gunarwan tersebut kiranya dapat dianalogikan dengan kondisi dunia sastra Aceh saat ini. Meskipun beliau mengemukakan kondisi bahasa secara khusus, tetapi gejala tersebut dapat juga dipostulatkan dengan kondisi nyata dunia sastra kita yang sudah sangat mendesak untuk dilakukan upaya-upaya pelestarian dan pemertahanan sastra. Tanpa adanya upaya yang serius kita jangan terlalu berharap bahwa kita masih dapat menikmati kesustraan kuno dan klasik dari sastra Aceh yang heroik dan agamis. Fenomena riil yang dapat kita tangkap sekarang ini adalah masihkan generasi kita akrab dengan dunia hikayat, liké atau diké (zikir), h’iem (berteka-teki), pantôn, dan beberapa sastra lisan Aceh lainnya. Syukur kalau mereka masih mendapatkan semua itu melalui kreativitas dan minat mereka sendiri terhadap khazanah budaya lokal, tetapi bagaimana apabila generasi penerus Aceh justru lebih jauh tertarik dengan budaya-budaya baru yang mereka temui di era globalisasi ini. Siapa berani menjamin bahwa sastra Aceh akan tetap bertahan dalam sepuluh tahun ke depan? Wallahua’lam bissawab.

Pesta Kenangan 16 Desember 2004

Pesta Kenangan 16 Desember 2004
Tsunami telah meninggalkan bekas untuk sejuta kenangan di dada

Sulitkah Anda menulis bahasa Aceh?