Minggu, 19 Juni 2011

H’iem, Sastra lisan Tradisional Masyarakat Aceh

H’iem, Sastra lisan Tradisional Masyarakat Aceh
Rahmat, S.Ag.
Balai Bahasa Aceh


Masyarakat Aceh dari dulu terkenal sebagai masyarakat dengan tradisi lisan yang kental, berbagai macam informasi tentang sejarah, budaya, ilmu pengetahuan, dan sastra diturunkan secara turun temurun dengan bertutur kata secara lisan dari generasi ke generasi secara alamiah. Budaya ini setidaknya memberikan warna tersendiri dalam pertumbuhan, perkembangan, dan pewarisan nilai-nilai “keAcehan” ke generasi selanjutnya dengan kelebihan dan kekurangannya.
Dalam dunia sastra, kita juga sering menemui karya-karya sastra dengan ciri kebiasaan yang tidak tertulis, artinya para penciptanya mewariskan karya-karyanya itu melalui tradisi lisan. Oleh karena itu, peran pawang (ahli sastra) dalam pewarisan karya sastra sangat menentukan. Periode ini berlangsung dalam era periodesasi sastra Aceh zaman lama. Dalam periode ini, sangat banyak karya sastra yang dilahirkan, namun tidak diketahui penciptanya. Pada umumnya karya sastra zaman ini berbentuk prosa, seperti Haba Jameun (cerita lama), hikayat, puisi, seperti neurajah (mantra), dan karya berupa pantôn (pantun) dan narit maja atau hadih maja (peribahasa) (Saifuddin Mahmud, 2003:1).
Kesusastraan Aceh zaman baru dimulai sejak masuknya Islam ke Aceh pada abad ke-7 masehi. Bentuk karya sastra saat itu tidak jauh berbeda dari sebelumnya, masih berupa prosa dan puisi. Akan tetapi, tema-tema yang berbau animisme zaman hindu klasik sudah tidak dipakai lagi diganti dengan tema-tema Islami dengan ciri adanya permulaan kata basmallah, penggunaan kutipan ayat-ayat Alquran, dan pujian-pujian  kepada Allah SWT (Saifuddin Mahmud, 2003:3).
Pada zaman revolusi, kesusastraan memegang peranan yang sangat penting meskipun perkembangannya tidak begitu pesat. Pada umumnya karya sastra zaman itu berupa hikayat yang bertemakan patriotisme. Kekuatan magis nilai sastra yang terkandung dalam hikayat benar-benar telah menghipnotis ribuan pejuang Aceh saat itu untuk mengobarkan perang suci demi mempertahankan jengkal demi jengkal tanah Aceh tercinta. Hikayat yang paling terkenal adalah Hikayat Prang Sabi, karya Tgk Chik Panté Kulu.
Dalam edisi ini kita tidak akan membahas sastra-sastra lisan Aceh secara keseluruhan, tetapi kita hanya akan mencoba mengkaji tentang salah satu sastra lama Aceh yang berbentuk lisan, yaitu h’iem. Dalam bahasa Indonesia, h’iem disebut teka-teki. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwadarminta, 1986:1033) dijelaskan bahwa teka-teki berarti ‘soal yang berupa kalimat (cerita, gambar, dsb.) sebagai permainan atau untuk mengasah pikiran; tebakan; penerka. H’iem berbeda dengan teka-teki dalam kesusastraan Indonesia pada umumnya. H’iem sebagai salah satu sastra lisan masyarakat Aceh yang sangat tradisional tidak hanya sekedar sebuah teka-teki, tetapi mengandung nilai-nilai pendidikan, agama, sosial, dan pengetahuan dengan penalaran yang tinggi.
Dalam masyarakat Aceh, h’iem dipergunakan sebagai sarana untuk menyampaikan nilai-nilai budaya, pengetahuan dengan metode pembelajaran yang bebas, kreatif dan inovatif. H’iem juga tidak memandang batas tingkatan umur. Pemakainya bukan hanya sesama orang tua, melainkan juga digunakan antara orang tua dengan pemuda atau anak-anak (Wildan, 1997) .  
Perkembangan h’iem lambat laun mengalami penurunan seperti sastra-sastra lisan tradisional lainnya, desakan arus globalisasi dan transformasi budaya telah menjadikan h’iem mulai ditinggalkan generasi Aceh. Jarang sekali kita temukan budaya ”berh’iem ria” dalam interaksi sosial masyarakat Aceh saat ini. Mereka lebih suka mengisi teka-teki silang yang dijual bebas di pasaran untuk mengisi waktu luang mereka atau dengan mengikuti trend sayembara di media elektronika. Gejala dan fenomena ini telah menyebabkan pergeseran yang signifikan terhadap budaya sastra lisan masyarakat Aceh pada umumnya.  
Kajian tentang h’iem pernah dilakukan oleh Wildan, dkk. (1995 dan 1997) tentang h’iem dialek Peusangan, sebuah daerah di Kabupaten Aceh Utara, dan tentang h’iem dialek Pidie (2000) di Kabupaten Pidie. Berdasarkan dua penelitian tersebut dapat diklarifikasikan bahwa h’iem berbentuk puisi dan prosa. H’iem berbentuk puisi ada empat macam, yaitu h’iem satu larik, h’iem dua larik, h’iem tiga larik, dan h’iem empat larik. H’iem berbentuk prosa ada tiga jenis, yaitu h’iem berbentuk pertanyaan langsung, h’iem berbentuk pertanyaan bercerita, dan h’iem berbentuk dialog.
Meskipun belum ada penelitian secara ilmiah tentang h’iem di beberapa daerah Aceh lainnya, tetapi secara umum h’iem dalam masyarakat Aceh sama. Masyarakat Aceh pada umumnya menempatkan h’iem sebagai sarana rekreasi, sarana kreasi, dan sarana pendidikan. Secara spesifik berdasarkan penelitian yang telah dilakukan masyarakat menggunakan h’iem sebagai sarana untuk menyampaikan pesan pengetahuan, agama, dan sebagai sarana pengasah otak atau untuk meningkatkan kecerdasan. Di bawah ini akan penulis kemukakan beberapa contoh h’iem berbentuk puisi, yaitu (1) H’iem satu larik, dara barô dalam pageu (boh aneuh)/ pengantin wanita dalam pagar (buah nenas), Ta ceupét bak iku hu aneuk mata (rukok)/dipencet ekornya merah biji matanya (rokok). (2) H’iem dua larik, bak sibak ôn siôn, beurangkajan thôn h’an mala-mala (aweuk)/ batang sebatang daun selembar, kapan saja tidak akan layu (centong), ureueng maté geubalôt ngön gafan, geutiek lam kulam geukhém meukhèk-khèk (bada)/ orang mati dibalut dengan kafan,  dilempar dalam kolam tertawa terbahak-bahak (pisang goreng).  (3) H’iem tiga larik, bakjih ubé tông, ônjih ubé eumping, bohjih kuwieng-kuwieng (bak mè)/ batangnya sebesar tong, daunnya sebesar emping, buahnya bengkok-bengkok (pohon asam), (4) H’iem empat larik, bak di laôt boh di darat, cabeueng han mupat boh jih kana, ladôm hijô ladôm coklat, meunyoe tatupat toh keutanda (boh pukat)/ batang di laut buah di darat, cabang tak ada buahnya ada, kalau kamu tahu apa tandanya (buah pukat).
H’iem berbentuk prosa dapat dikelompokkan atas tiga jenis, yaitu (1) H’iem berbentuk pertanyaan langsung, bak sigala bak, ôn sigala ôn, peu ôn nyang raya that di dônya nyoe? (ôn tutôp bumoe)/ batang segala batang, daun segala daun, daun apa yang paling besar di dunia (daun tutup bumi). (2)  H’iem berbentuk pertanyaan bercerita, meunyoe gob han tom sakét, dijih han tom teupét, neuci peusabét peu makna? (bola lèstrék)/ kalau orang tak pernah sakit, dia tak pernah terpejam matanya, coba anda analisa apa maknanya? (bola listrik). (3) H’iem berbentuk dialog, “da, da, soe tuha gata ngön kèe?” “ Hom hai, adoe,” “lhèe uroe lheuh maté ma,  na kèe (aneuk bak pisang)/ “kak, kak, siapa lebih tua kakak daripada saya?” “tidak tahu, Dik” “tiga hari setelah ibu meninggal, saya lahir” (bibit pohon pisang).
H’iem dalam masyarakat Aceh banyak ragam dan jenis sesuai dengan nilai yang dikandung, contoh h’iem dengan muatan nilai sosial, jiduek meukuwien tapéh, ji éh meukuwien tima, jijak sabé meudhöt-dhöt, han tom göt si umu dônya (asè)/ duduknya sebengkok sabut, tidurnya sebengkok timba, ia berjalan seperti berlari-lari, tak pernah sempurna seumur dunia (anjing). Kadang juga h’iem dapat diklasifikasikan sesuai objek penciptaaan h’iem itu sendiri. Berbagai objek konkret dalam lingkungan sekitar dijadikan bahan kreasi sang pencipta h’iem, seperti, ta ék u glé, ta trôn di glé, meuteumèe ie saboh baté (ie u)/ naik bukit, turun bukit, bertemu air satu cawan (air kelapa). H’iem juga dapat dikategorikan sesuai tingkatan umur, artinya ada h’iem yang hanya digunakan oleh pemakai usia dewasa, remaja, dan anak-anak, karena ada juga h’iem yang terkesan tabu bagi anak-anak yang belum cukup umur karena mengandung nilai pornografi, contoh ‘oh noe ‘oh Medan, boh Cina meugeuratan, geupluk silapéh putéh lagèe gafan (boh ubi)/ dari sini sampai ke Medan, pelir orang Cina berkaratan, dikupas selapis,putih bagai kain kafan (buah ubi). Saboh syiah, jipoe u Grông-grông, dua krèk ija han teutôp punggông (lalat)/  satu syiah (gerombolan binatang), terbang ke Grong-grong (nama daerah di Pidie), dua helai kain tak tertutup pantat (lalat).
Dari uraian dan data dari penelitian yang dilakukan, kita dapat mengambil simpulan bahwa h’iem tidak hanya sekedar teka-teki biasa, terdapat nilai-nilai yang tersirat dibalik daya kreasi penciptaan h’iem. Para pendahulu kita menyadari metodologi pendidikan tidak hanya dapat ditempuh melalui sarana pendidikan formal, tetapi juga dapat diberikan melalui sarana sastra lisan yang rileks dan tidak monoton melalui daya kreasi h’iem misalnya. Ketirisan diglosia (penulis meminjam istilah linguistik) terhadap identitas sastra lisan seperti h’iem bukan karena ia sudah tidak relavan lagi dengan dunia yang semakin canggih, tetapi kita sebagai generasi penerus yang ‘kalau’ masih mau dikatakan sebagai penikmat karya sastra tersebut sudah sangat memprihatinkan tingkat kepedulian kita untuk mengadakan upaya pemertahanan sastra-sastra lisan daerah. Kasus-kasus ini penulis yakin tidak hanya terjadi di Aceh saja, tetapi hampir terhadap dunia sastra lisan masyarakat nusantara ini. 
H’iem sebagai salah satu khazanah budaya bangsa kiranya dapat dipertahankan dengan kepedulian semua pihak terkait. Penelitian-penelitian yang dilakukan perlu kiranya didukung oleh pemerintah daerah. Penelitian tentang h’iem adalah salah satu simbol yang dapat dijadikan acuan bahwa penelitian–penelitian terhadap berbagai bentuk sastra perlu diperhatikan dengan serius dan kontinyu. Pemertahanan terhadap karya-karya sastra Aceh sudah sangat mendesak untuk dibudayakan kembali. Sudah saatnya dipertimbangkan pembelajaran dan pengajaran sastra Aceh di sekolah-sekolah sebagai materi muatan lokal. Saat ini hanya pengajaran bahasa Aceh yang baru dilakukan, itupun hanya sebatas syarat pelengkap saja. Kita khawatir sastra kita akan terjebak dalam hukum seleksi alam dimana suatu budaya yang kalah dalam persaingan global pelan-pelan terpinggirkan, terus tergeser, terjepit, dan akhirnya sekarat sebagai akibat ketirisan diglosia tadi.
Saya tertarik dengan apa yang pernah disampaikan oleh prof. Dr. Asim Gunarwan, dosen pascasarjana program magister linguistik dalam seminar Kongres Masyarakat Linguistik Nasional XI di Padang, Sumatera Barat. Beliau mengungkapkan bahwa kasus-kasus pergeseran bahasa di tanah air sudah sangat mengkhawatirkan kita. Ada petunjuk yang mengisyaratkan bahwa di ranah rumah makin muda orang daerah makin kurang kuantitas penggunaan bahasa daerahnya (BD), mereka cenderung memakai bahasa Indonesia (BI). Hal ini menunjukkan bahwa BI menjadi bahasa primernya, dan hal ini sah-sah saja. Lebih-lebih ketika BI hasil ekspansi dari Bahasa Melayu (BM) resmi menjadi bahasa negara dan bahasa pengantar dunia pendidikan. Akan tetapi, masalahnya: mengapa penggunaan BD di ranah rumah menurun? Padahal kita mengetahui jumlah penutur yang terus mengecil dapat menyebabkan suatu bahasa sangat rentan punah.
Isyarat yang dikemukakan Prof. Dr. Asim Gunarwan tersebut kiranya dapat dianalogikan dengan kondisi dunia sastra Aceh saat ini. Meskipun beliau mengemukakan kondisi bahasa secara khusus, tetapi gejala tersebut dapat juga dipostulatkan dengan kondisi nyata dunia sastra kita yang sudah sangat mendesak untuk dilakukan upaya-upaya pelestarian dan pemertahanan sastra. Tanpa adanya upaya yang serius kita jangan terlalu berharap bahwa kita masih dapat menikmati kesustraan kuno dan klasik dari sastra Aceh yang heroik dan agamis. Fenomena riil yang dapat kita tangkap sekarang ini adalah masihkan generasi kita akrab dengan dunia hikayat, liké atau diké (zikir), h’iem (berteka-teki), pantôn, dan beberapa sastra lisan Aceh lainnya. Syukur kalau mereka masih mendapatkan semua itu melalui kreativitas dan minat mereka sendiri terhadap khazanah budaya lokal, tetapi bagaimana apabila generasi penerus Aceh justru lebih jauh tertarik dengan budaya-budaya baru yang mereka temui di era globalisasi ini. Siapa berani menjamin bahwa sastra Aceh akan tetap bertahan dalam sepuluh tahun ke depan? Wallahua’lam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesta Kenangan 16 Desember 2004

Pesta Kenangan 16 Desember 2004
Tsunami telah meninggalkan bekas untuk sejuta kenangan di dada

Sulitkah Anda menulis bahasa Aceh?