Lilin
Rahmat
…aku merasa bahwa cahayaku telah hampir padam, karena zat yang ada dalam diriku telah semakin habis. Kelilingku telah mulai sunyi, karena mereka yang semata-mata memerlukan cahaya telah mencari lilin yang lain. Aku merasa sangat berbahagia, karena ditakdirkan Tuhanku menjadi lilin. Aku mengerti bahwa pada satu saat yang tidak lama lagi zatku akan habis dan cahayaku akan padam. Tetapi, aku yakin bahwa apabila malam telah datang lagi, nanti mereka terkenang kembali akan cahayaku dan zatku yang telah menjadi jejak lantaran terbakar akan dipuja.
Nanggroe Aceh Darussalam telah ditinggal oleh tokoh agama, negarawan, dan sastrawan islami ini. Akan tetapi, nama dan hasil karyanya selalu indah untuk kita kaji dan teliti. Beliau adalah Prof Ali Hasymi, pujangga besar Aceh yang tergolong ke dalam angkatan pujangga baru yang beraliran romantik. Penyair yang terkenal dengan nama samaran Aria Hadiningsun, Al Hariry dan Asmara Hakiki ini selain dikenal sebagai sebagai penulis puisi handal, juga dikagumi sebagai penulis cerpen dan roman yang bermutu. Puisi-puisi beliau banyak dikaji selain karena sarat dengan penggunaan kosakata sederhana dan padat makna, tetapi juga karena tajam dengan permainan bahasa kiasan dan penggunaan sarana retorika yang apik dan dinamis. Sementara, cerpen-cerpen beliau diminati karena sarat dengan tema sosial yang dibumbui pesan dan amanat terhadap pembaca dan penikmat karya sastranya.
Sebagai sastrawan yang berbasis pendidikan islam dan lingkungan yang agamis, dapat dikatakan bahwa secara umum karya-karya penyair besar Aceh ini, baik puisi, cerpen maupun roman, secara keseluruhan bernafaskan nilai-nilai keagamaan (Islam). Dalam pandangan beliau, tugas seorang sastrawan sejati adalah sebagai khalifah Allah yang mengerti akan posisi dan jati dirinya sebagai seorang muslim yang baik yang mempunyai tanggung jawab moral menegakkan amar makruf nahi mungkar dimanapun, siapapun, dan apapun profesi yang digelutinya. Pendapat beliau ini selaras dengan fungsi sastra itu sendiri yang menganut prinsip dulce ‘manis, menyenangkan’ dan utile ‘berguna, bermanfaat’. Menurut Tirtosuwondo dalam bukunya Studi Sastra-beberapa alternatif, sebuah karya sastra yang baik, tentunya mengandung tujuan yaitu membina, mendidik, dan membentuk pribadi pembaca.
Salah satu cerpen beliau yang tinggi nilai seninya adalah cerpen Lilin yang terbit di harian Tegas pada tahun 1950, terletak di ujung buku antologi puisi dan cerpen Rindu Bahagia (1960). Cerpen ini menceritakan tentang kehidupan tokoh Hamdan, seorang politikus muda, pimpinan sebuah partai islam yang tabah, penyabar, simpatik, ramah, murah senyum, dan periang. Selain dikenal sebagai politikus muda berbakat, Hamdan dikenal juga sebagai cendekiawan yang pandai menulis dan ahli pidato. Hamdan beristerikan Habibah, seorang anggota pengurus partai politik wanita nasionalis. Kehidupan rumah tangga mereka di awal perkawinan kelihatan bahagia. Namun, tidak lama kemudian perbedaan prinsip dalam mengarungi aktifitas masing-masing membuat jarak di antara dua insan ini, sampai akhirnya merekapun bercerai. Perceraian ini tentunya sangat menghebohkan dan menjadi isu hangat kampung mereka. Banyak opini yang berkembang dalam masyarakat kampung mereka, ada yang pro, ada juga yang kontra. Kalangan yang kontra berusaha membuat kedua pasangan ini bersatu kembali, sementara kalangan yang pro merasa mendapat angin segar untuk mengajak Hamdan berumah tangga lagi. Segala usaha dari berbagai kalangan tidak berhasil, karena mereka tidak mengetahui hakekat persoalan yang membuat pasangan ini bercerai. Sebenarnya, perceraian adalah suatu hal yang sangat dikhawatirkan Hamdan, karena sejak hari pertama perkawinan mereka, Hamdan telah merasakan adanya perbedaan prinsipil antara ia dengan isterinya. Hamdan yang sederhana gaya hidupnya tidak dapat memenuhi keinginan isterinya untuk hidup mewah dan serba ada. Filsafat lilin menjadi semboyan hidup Hamdan. Ia merasa dirinya telah ditakdirkan Tuhan menjadi “lilin” yang memberi cahaya kepada orang lain meskipun diri dan zatnya sendiri habis terbakar. Falsafah Jalan hidup Hamdan ini yang membuat Habibah meminta agar Hamdan melepaskan dirinya dari lingkungan Hamdan. Hamdan tidak pernah menyalahkan Habibah karena permintaan tersebut. “Dengan tidak ragu-ragu Habibah kulepaskan kembali ke dalam masyarakat dan mungkin nanti bersama-sama dengan anggota masyarakat lainnya ia akan melihat harapan dari cahaya lilinku”, jawab Hamdan pada setiap orang yang bertanya padanya. Cerpan ini diakhiri dengan catatan manis yang sangat puitis yang penulis tulis di awal tulisan ini. Menurut penulis, catatan tersebut begitu kuat pengaruh, daya tarik dan maknanya.
Hal yang menarik adalah simbol atau lambang lilin yang beliau gambarkan dalam tokoh Hamdan menurut penulis adalah sosok pribadi A. Hasymi sesungguhnya yang teramat peduli bagi semua yang membutuhkan di luar lingkungan pribadi penyair itu sendiri. Simbol lilin kadang terasa asing bagi orang-orang yang tidak peka batinnya terhadap lingkungan sekitar. “Sebatang lilin tidak pernah mengharap sesuatu dari daerah lingkungan yang pernah mengambil sinar dari cahayanya”, begitu ungkapan Hamdan pada Salimah, tokoh separtai dengan Hamdan yang hendak memilikinya setelah berpisah dari Habibah yang sulit menerima dan memahami kepribadian Hamdan yang bersifat lilin.
Dalam cerpen ini, A. Hasymi mencoba mengingatkan kita untuk memahami kembali hakekat kehidupan manusia yang tidak mungkin lepas dari lingkungan sekitar meskipun kehidupan di sekitar kita itu diliputi debu jalanan, sampah, dan kotoran. Kita kadang harus memahami sampah dan kotoran dapat diolah kembali menjadi bahan-bahan yang bermanfaat bagi kehidupan orang banyak termasuk orang-orang yang alergi dengan debu jalanan, sampah, dan kotoran itu sendiri. Semoga kita dengan profesi apapun yang sedang kita geluti mampu memetik manfaat dari cerpen ini.
Sebagai sastrawan yang berbasis pendidikan islam dan lingkungan yang agamis, dapat dikatakan bahwa secara umum karya-karya penyair besar Aceh ini, baik puisi, cerpen maupun roman, secara keseluruhan bernafaskan nilai-nilai keagamaan (Islam). Dalam pandangan beliau, tugas seorang sastrawan sejati adalah sebagai khalifah Allah yang mengerti akan posisi dan jati dirinya sebagai seorang muslim yang baik yang mempunyai tanggung jawab moral menegakkan amar makruf nahi mungkar dimanapun, siapapun, dan apapun profesi yang digelutinya. Pendapat beliau ini selaras dengan fungsi sastra itu sendiri yang menganut prinsip dulce ‘manis, menyenangkan’ dan utile ‘berguna, bermanfaat’. Menurut Tirtosuwondo dalam bukunya Studi Sastra-beberapa alternatif, sebuah karya sastra yang baik, tentunya mengandung tujuan yaitu membina, mendidik, dan membentuk pribadi pembaca.
Salah satu cerpen beliau yang tinggi nilai seninya adalah cerpen Lilin yang terbit di harian Tegas pada tahun 1950, terletak di ujung buku antologi puisi dan cerpen Rindu Bahagia (1960). Cerpen ini menceritakan tentang kehidupan tokoh Hamdan, seorang politikus muda, pimpinan sebuah partai islam yang tabah, penyabar, simpatik, ramah, murah senyum, dan periang. Selain dikenal sebagai politikus muda berbakat, Hamdan dikenal juga sebagai cendekiawan yang pandai menulis dan ahli pidato. Hamdan beristerikan Habibah, seorang anggota pengurus partai politik wanita nasionalis. Kehidupan rumah tangga mereka di awal perkawinan kelihatan bahagia. Namun, tidak lama kemudian perbedaan prinsip dalam mengarungi aktifitas masing-masing membuat jarak di antara dua insan ini, sampai akhirnya merekapun bercerai. Perceraian ini tentunya sangat menghebohkan dan menjadi isu hangat kampung mereka. Banyak opini yang berkembang dalam masyarakat kampung mereka, ada yang pro, ada juga yang kontra. Kalangan yang kontra berusaha membuat kedua pasangan ini bersatu kembali, sementara kalangan yang pro merasa mendapat angin segar untuk mengajak Hamdan berumah tangga lagi. Segala usaha dari berbagai kalangan tidak berhasil, karena mereka tidak mengetahui hakekat persoalan yang membuat pasangan ini bercerai. Sebenarnya, perceraian adalah suatu hal yang sangat dikhawatirkan Hamdan, karena sejak hari pertama perkawinan mereka, Hamdan telah merasakan adanya perbedaan prinsipil antara ia dengan isterinya. Hamdan yang sederhana gaya hidupnya tidak dapat memenuhi keinginan isterinya untuk hidup mewah dan serba ada. Filsafat lilin menjadi semboyan hidup Hamdan. Ia merasa dirinya telah ditakdirkan Tuhan menjadi “lilin” yang memberi cahaya kepada orang lain meskipun diri dan zatnya sendiri habis terbakar. Falsafah Jalan hidup Hamdan ini yang membuat Habibah meminta agar Hamdan melepaskan dirinya dari lingkungan Hamdan. Hamdan tidak pernah menyalahkan Habibah karena permintaan tersebut. “Dengan tidak ragu-ragu Habibah kulepaskan kembali ke dalam masyarakat dan mungkin nanti bersama-sama dengan anggota masyarakat lainnya ia akan melihat harapan dari cahaya lilinku”, jawab Hamdan pada setiap orang yang bertanya padanya. Cerpan ini diakhiri dengan catatan manis yang sangat puitis yang penulis tulis di awal tulisan ini. Menurut penulis, catatan tersebut begitu kuat pengaruh, daya tarik dan maknanya.
Hal yang menarik adalah simbol atau lambang lilin yang beliau gambarkan dalam tokoh Hamdan menurut penulis adalah sosok pribadi A. Hasymi sesungguhnya yang teramat peduli bagi semua yang membutuhkan di luar lingkungan pribadi penyair itu sendiri. Simbol lilin kadang terasa asing bagi orang-orang yang tidak peka batinnya terhadap lingkungan sekitar. “Sebatang lilin tidak pernah mengharap sesuatu dari daerah lingkungan yang pernah mengambil sinar dari cahayanya”, begitu ungkapan Hamdan pada Salimah, tokoh separtai dengan Hamdan yang hendak memilikinya setelah berpisah dari Habibah yang sulit menerima dan memahami kepribadian Hamdan yang bersifat lilin.
Dalam cerpen ini, A. Hasymi mencoba mengingatkan kita untuk memahami kembali hakekat kehidupan manusia yang tidak mungkin lepas dari lingkungan sekitar meskipun kehidupan di sekitar kita itu diliputi debu jalanan, sampah, dan kotoran. Kita kadang harus memahami sampah dan kotoran dapat diolah kembali menjadi bahan-bahan yang bermanfaat bagi kehidupan orang banyak termasuk orang-orang yang alergi dengan debu jalanan, sampah, dan kotoran itu sendiri. Semoga kita dengan profesi apapun yang sedang kita geluti mampu memetik manfaat dari cerpen ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar