Jumat, 19 September 2014

Teknik Penerjemahan

Teknik Penerjemahan
Rahmat, S.Ag.
Balai Bahasa Banda Aceh

Alhamdulillah pada medio Februari 2007, penulis mempunyai kesempatan mengikuti pelatihan penerjemahan bagi penerjemah pemula di Pusat Bahasa Jakarta. Sebagai seorang yang awam di dunia penerjemahan, pelatihan tersebut cukup memberi arti penting bagi wawasan penulis bahwa sebetulnya dunia penerjemahan merupakan dunia dengan daya tarik tersendiri, seperti menambah cakrawala berpikir dan ilmu pengetahuan di samping ikut membantu penambahan uang sampingan tentunya. Akan tetapi, setelah pelatihan itu berakhir, penulis berasumsi bahwa dunia penerjemahan merupakan dunia yang membutuhkan proses panjang untuk mencapai tingkat seorang penerjemah profesional seperti penerjemah tersumpah. Rutin menerjemah dan banyak membaca merupakan dua hal mutlak yang harus diperlukan seorang calon penerjemah yang baik. Dalam tulisan ini, penulis mencoba berbagi dari apa yang telah penulis dapatkan di sana karena narasumber di pelatihan itu merupakan para ahli di bidangnya, salah satunya adalah Prof. H. Benny Hoed--Guru Besar Penerjemahan UI-- dan ayah Anto Hoed--suami penyanyi pop kreatif Melly Goeslow.
Menurut Prof H. Benny H Hoed, terdapat 8 teknik penerjemahan yang seyogianya dipahami oleh seorang penerjemah, yaitu (1) Transposisi, artinya kadang-kadang penerjemah dituntut untuk mengubah struktur kalimat supaya memperoleh terjemahan yang tepat. Contoh, trade secrets and confidential diartikan menjadi ‘rahasia dagang’. (2) Modulasi, artinya memberikan padanan semantik berbeda cakupan maknanya, tetapi secara konteks pesannnya sama. Contoh, the laws of Germany govern this agreement diartikan menjadi ‘perjanjian ini diatur oleh hukum jerman’. (3) Penerjemahan deskriptif, yaitu pendeskripsian kata bahasa sumber terjemahan (BSu) karena tidak ada padanan kata dalam bahasa sasaran penerjemahan (BSa). Contoh, licensed software diartikan menjadi ‘perangkat lunak berlisensi’. (4) Contextual conditioning, yaitu menerjemahkan teks sumber dengan memperhatikan makna secara kontekstual, (5) Catatan kaki, artinya penerjemah kadang-kadang (jika dianggap penting) perlu juga mendeskripsikan kata atau frasa sulit dengan memberi catatan kaki sehingga makna yang dikandung Teks Sumber (TSu) lebih jelas dan mudah dimengerti. (6) Penerjemahan fonologis. Contohnya kata license diartikan menjadi ‘lisensi’. (7) Penerjemahan baku, yaitu terjemahan yang sudah mempunyai pedoman standar. Contohnya nama Kota Munich diartikan menjadi Kota Munchen. (8) Tidak diberikan padanan sama sekali. Teknik ini diberlakukan jika menurut penerjemah tidak ada padanan kata atau ungkapan yang memiliki makna sepadan antara Teks Sumber (TSu) dengan Teks Sasaran (TSa) sehingga penerjemah tetap memakai TSu dalam penerjemahannya. Hal ini misalnya sering terjadi dalam penerjemahan istilah-istilah kedokteran.  
Pekerjaan menerjemah sebenarnya bukan hal yang mudah tapi juga tidak sulit. Hal ini dikarenakan selama proses penerjemahan, kita dituntut untuk terlebih dahulu membaca dan mengerti suatu tulisan. Langkah ini dikenal dengan istilah deverbalisasi, yaitu langkah awal dalam penerjemahan dengan teknik mencari pesan yang ada sebelum dilakukan penerjemahan. Setelah itu, proses penerjemahan memasuki tahap “translation is for discussion”, artinya untuk langkah pertama, kata-kata yang sulit ditinggalkan dulu, lalu diterjemahkan secara kontekstual. Setelah melewati tahap deverbalisasi baru menentukan untuk tujuan apakah hasil penerjemahan dan kepada siapakah sasaran hasil penerjemahan. Jika seorang penerjemah salah dalam menentukan kedua hal dimaksud maka proses penerjemahan diyakini telah menemui jalan buntu dari hasil terjemahan yang diharapkan. Selain itu, sering kali penerjemah pemula berhadapan dengan problematika klasik proses penerjemahan. Penerjemah yang memiliki kemampuan membaca dan mengerti suatu tulisan yang baik belum tentu berarti mempunyai kemampuan untuk menerjemahkan suatu tulisan dengan lancar dan benar. Oleh karena itu, seorang penerjemah perlu juga menguasai dua kriteria, yaitu menguasai kedua bahasa yang dihadapinya, baik BSu maupun BSa. Dengan menguasai kedua bahasa tersebut secara maksimal diharapkan dapat menghasilkan terjemahan yang baik. Selain menguasai BSu dan BSa, penerjemah yang baik juga seharusnya mampu memahami kebudayaan dan alam yang melatari kedua bahasa tersebut. Penggunaan sebuah metafora asing tidak akan pernah dimengerti oleh pembaca yang tidak mengenal metafora tersebut, bila tidak disesuaikan dengan metafora di dalam BSa.
Selain penguasaan terhadap BSu dan BSa, pemahaman terhadap materi atau topik yang diterjemahkan juga perlu diperhatikan. Menerjemahkan suatu karya sastra misalnya, akan kehilangan rasa sastranya bila diterjemahkan secara baku tanpa mengindahkan nilai kepuitisannya. Sementara menerjemahkan suatu karya dengan topik kedokteran pasti akan berbeda dengan karya yang bertemakan teknik atau keuangan. Misalnya, dalam dunia perbankan dikenal istilah "A balance sheet”. Bila frasa tersebut diterjemahkan secara harfiah tanpa pengetahuan memadai di bidang ekonomi menjadi ‘selembar keseimbangan’. Terjemahan seperti ini justru tentu akan membingungkan orang-orang dari kalangan  ekonomi. Padahal frasa "A balance sheet” lebih wajar dan berterima dengan terjemahan ‘Neraca’.
Terdapat tiga hal yang harus dimiliki seorang penerjemah agar ia menjadi penerjemah yang baik. Pertama, seorang penerjemah yang baik seharusnya memiliki pengetahuan umum yang memadai dan jika perlu ia juga setiap hari mengikuti perkembangan dunia. Hal ini dibutuhkan agar ia mampu menangkap konteks kata, ungkapan, uraian teks yang akan diterjemahkannya. Misalnya, ketika ia menemukan teks Uruguay Round, ia harus jeli dengan istilah tersebut. Penerjemah seharusnya tidak terjebak dengan menerjemahkan menjadi ‘Babak Negara Uruguay’ yang sama sekali lari dari  pesan TSu padahal istilah tersebut merupakan istilah yang berkaitan dengan WTO (world trade organization). Kedua, seorang penerjemah yang baik harus memiliki pengetahuan khusus jika ia menjadi penerjemah di bidang khusus, misalnya: hukum, teknik, atau kedokteran sehingga hasil penerjemahannya menjadi lebih valid, terpercaya, dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini perlu diperhatikan karena risiko kesalahan akan berakibat fatal bagi pembaca teks terjemahan. ketiga, seorang penerjemah yang baik harus memahami ungkapan "La soumission devant le texte" yaitu ‘merendahkan diri di hadapan teks’. Maksudnya, seorang penerjemah harus memosisikan dirinya sebagai seorang yang bertanggung jawab di hadapan teks. Sedikit saja ia cerobah dan tidak hati-hati dalam menerjemahkan, ia telah menjadi penerjemah yang tidak profesional dan tidak bertanggung jawab atas profesi yang diembannya. Oleh karena itu, dalam dunia penerjemahan sangat dituntut sikap profesionalisme dan moral yang tinggi agar pengalihan pesan betul dan berterima.
Sebaiknya, sebelum melakukan penerjemahan, seorang penerjemah yang baik akan melakukan tiga langkah yang akan membantunya dalam tugas-tugas penerjemahan. Ketiga langkah tersebut adalah
 (1) Audience design (sasaran penerjemahan). Sebelum melakukan penerjemahan, penerjemah yang baik seharusnya mengetahui kepada siapa TSa akan ditujukan. Hal ini perlu dilakukan untuk menjadikan TSa tepat sasaran dan mudah dipahami maknanya. Dengan mengetahui sasaran penerjemahan, seorang penerjemah akan menggunakan bahasa, istilah, atau ungkapan-ungkapan tertentu yang dianggap dapat dipahami oleh yang memerlukan teks terjemahan. Jika teks yang akan diterjemahkan merupakan teks kedokteran (dengan begitu banyak istilah latin) akan ditujukan untuk masyarakat dengan latar belakang pendidikannya bukan kedokteran, bahkan mungkin masyarakat awam, seharusnya kita menggunakan istilah-istilah yang mudah dipahami atau jika perlu kita menambah dengan uraian tambahan (catatan kaki, misalnya). Contoh: penyakit tubercle bacillus; tuberculosis, kita gunakan ungkapan penyakit TBC saja yang lebih mudah meraka pahami.
 (2) Need analysis (tujuan penerjemahan), untuk kebutuhan di bidang apakah penerjemahan tersebut, langkah ini perlu dilakukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh yang memberikan teks terjemahan. Misalnya, teks yang diterjemahkan merupakan teks tentang perundang-undangan, tentunya penerjemah harus melakukan penerjemahan dengan berbagai referensi dan menggunakan bahasa baku. Selain itu, TSu yang bermuatan politis juga seharusnya diterjemahkan dengan bijak. Misalnya, frasa Palestine militant dalam teks politik luar negeri harus diartikan dengan ‘pejuang palestina’ dan bukan ‘militan palestina’ yang berkonotasi negatif. Atau the chief of Palestine, tidak diartikan ‘Kepala Daerah Palestina’ tetapi ‘Presiden Palestina’ sesuai dengan kebijakan pemerintah Indonesia dan masyarakat muslim Indonesia yang pro perjuangan palestina.
(3) Equivalence, artinya yang diutamakan adalah kesepadanan makna bukan kesejajaran formal (formal correpondence) dari teks sumber. Sebagaimana yang kita maklumi penerjemahan merupakan kegiatan mengalihkan pesan dari bahasa sumber (Source Language) ke dalam BSa (Target Language). Oleh karena itu, dalam melakukan penerjemahan yang diprioritaskan bukanlah kesejajaran formal (formal correspondence), tetapi kesepadanan makna (equivalence). Mari kita lihat contoh berikut ini:
            
            (1a) People to watch in international business.
            (1b) Tokoh yang patut diperhitungkan dalam bisnis internasional.

Pada contoh (1a) people to watch tidak kita artikan dengan teknik word for word translation, karena jika itu kita lakukan maka kita akan sulit menemukan pesan yang dikehendaki teks sumber (TSu). Kalimat (1a) akan berarti ‘orang-orang yang ingin melihat dalam bisnis internasional’. Kalimat ini tidak memberikan solusi dan menangkap pesan yang diharapkan dari TSu. Oleh karena itu, kita seharusnya menggunakan teknik transposisi, yaitu teknik penerjemahan yang mementingkan pesannya daripada kesejajaran formalnya. Jadi, frasa “people to watch” kita artikan menjadi ‘tokoh yang patut diperhitungkan’. Hal ini diperkuat oleh hasil bacaan cepat yang kita lakukan dalam tahapan analisis TSu yang menggambarkan bahwa “Nobert Reithofer dianggap tokoh yang paling tepat untuk melanjutkan dominasi BMW sebagai penjual mobil terlaris di dunia bisnis internasional”. Selain itu, seorang penerjemah juga dituntut memiliki pengetahuan umum, khusus dan budaya yang melatarbelakangi kedua bahasa sama baiknya antara BSu dan BSa. Pengetahuan BSu diperlukan untuk menangkap makna yang sebenarnya sehingga kita tidak menyimpang (bias), sementara pengetahuan BSa dibutuhkan agar kita mampu mengalihkan pesan dari TSu ke dalam TSa dengan bahasa yang lugas, ringkas, dan tentunya benar.
            Contoh lainnya adalah sebagai berikut:
            
            (2a) Nobert Reithofer, CEO, BMW.
            (2b) Nobert Reithofer, Direktur Utama, BMW.
         
            Jika kita tidak memiliki pengetahuan memadai dan mengetahui budaya BSa dan BSu, singkatan CEO, akan membuat kita sulit mencari maksudnya, tetapi dengan pengetahuan umum yang memadai kita akan mengetahui bahwa CEO merupakan abreviasi dari Chief Executive Officer. Lalu, pengetahuan umum mencukupi bagi seorang penerjemah yang baik? Belum. Karena hal itu akan membuat kita menerjemahkan Chief Executive Officer menjadi ‘Pegawai kepala eksekutif’. Tentunya terjemahan demikian tidak berterima dengan budaya di Indonesia. Untuk itulah kita mencari padanan kata yang sepadan (equivalent) dengan TSa menjadi ‘direktur utama’.

(3a) Myth : I am too old to donate organs.
      Fact   : people from all ages can donate organs and tissue. Physical condition,   
                  Not  age, is the important factor in determining if organs can be used.
           
               Dalam menerjemahkan teks (3a), langkah pertama adalah membaca teks keseluruhan berulang kali untuk mendapatkan maksud atau pesan yang disampaikan, kemudian bagian-bagian yang kurang dipahami dan dianggap penting ditandai (analysis), lalu kita menerjemahkan (transfer) ke dalam teks sasaran dan sekaligus melakukan deverbalisasi, yaitu melepaskan diri dari ikatan teks sumber untuk menangkap pesan yang di sampaikan. Dengan demikian,  kita mempunyai pemahaman teks terjemahan seperti di bawah ini:

(3b) Mitos: saya terlalu tua untuk mendonor organ-organ dan jaringan otot tubuh saya.
                    Fakta: semua orang dengan berbagai tingkat usia dapat mendonorkan organ tubuh mereka.                                   Kondisi fisik yang baik, merupakan hal yang paling penting dalam menentukan apakah                                   organ tubuh masih dapat didonorkan.

Tentunya teks terjemahan (3b) masih belum sempurna. Langkah selanjutnya adalah restructuring. Langkah ini kita lakukan untuk melihat kesesuaian antara audience design dan needs analysis. Contohnya, organs and tissue kita artikan dengan satu kata saja ‘organ tubuh’ karena kata itu lebih berterima dengan budaya indonesia. Lalu, kita membacanya berulang kali untuk melihat apakah teks terjemahan berterima. Akhirnya, teks tersebut dapat kita lihat seperti di bawah ini:

(3c) Mitos : saya terlalu tua untuk mendonor organ-organ tubuh saya.
                   Fakta :  setiap orang dapat mendonorkan organ tubuh mereka. Karena faktor yang                                                  menentukan dalam mendonorkan organ tubuh bukanlah faktor usia  seseorang melainkan                              faktor kondisi fisik yang baik.


Penerjemahan yang salah dapat  juga berakibat fatal bila dokumen yang diterjemahkan adalah dokumen penting seperti dokumen-dokumen yang bersinggungan dengan masalah peraturan dan hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan penerjemah yang tersumpah (Sworn Translator) yang akan menjamin keakuratan hasil penerjemahan dan rahasia dari TSu itu sendiri. Akan tetapi, bagi kita penerjemah pemula tidak ada salahnya jika terus memperbaiki dan membenahi diri jika benar-benar ingin mengeluti dunia penerjemahan. Kiranya secuil catatan sederhana ini dapat membantu pembaca untuk memahami dan mungkin tergoda untuk mencoba terjun ke dunia penerjemahan. Tidak ada salahnya untuk mencoba, karena mencoba merupakan proses awal yang cemerlang untuk mencapai kesuksesan. Barangkali motto lebih baik mencoba daripada tidak melakukan apa-apa dapat kita jadikan momentum untuk berkarya di dunia penerjemahan. Selamat mencoba!

Kamis, 18 September 2014

Blunder Penerjemahan

Blunder dalam Dunia Penerjemahan
Rahmat Zainun Abdullah
Peminat kajian penerjemahan

“When you choose your translation service, choose carefully
because mistranslation is a serious problem”

    
 B
lunder adalah kosakata bahasa Inggris yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu  pekerjaan yang dilakukan dengan perhitungan yang tidak cermat atau tidak hati-hati. Agak susah mencari kata yang padanannya persis sama dalam bahasa Indonesia untuk mendeskripsikan kata blunder tersebut secara utuh. Dalam bahasa Inggris, kata blunder berarti “To move clumsily or blindly, to make a usually serious mistake, to make a stupid, usually serious error, or to utter (something) stupidly or thoughtlessly”. Jadi, blunder secara semantis serupa dengan kesalahan, kecerobohan, kebodohan, salah langkah, atau gegabah dalam melakukan sesuatu yang berdampak sangat serius, biasanya berimplikasi negatif. Bahkan, dampak kesalahan tersebut kadang tidak dapat dimaafkan. Akhir-akhir ini, kata blunder ini seringkali digunakan para jurnalis kita sehingga seakan kata tersebut adalah kata baku bahasa Indonesia, terutama berkaitan dengan reportase olah raga. Misalnya, pada perhelatan piala dunia 2014 lalu, salah satu media surat kabar online menulis, “Iker Casillas melakukan blunder di kotak penalti, Robin Van Persie berhasil merebut dan tanpa ampun menjebloskan bola ke gawang Spanyol”.
            Lalu, apa kaitannya antara kata blunder dan dunia penerjemahan? Rupanya dalam dunia penerjemah, tindakan blunder juga acapkali terjadi. Dalam tulisan ini, penulis mengajak pembaca untuk menelaah ‘insiden’ blunder dalam dunia penerjemahan yang berdampak serius bagi suatu objek terjemahan. Telaah yang dilakukan tentunya tidak bersifat komprehensif, tetapi melihat beberapa kasus yang kiranya dapat dijadikan pengalaman berharga, terutama bagi penerjemah pemula. Tidak dapat dipungkuri jika memang terdapat banyak kasus kekeliruan dalam proses penerjemahan, barangkali tidak akan berdampak serius jika kesalahan terjemahan tersebut hanya berupa tugas kuliah, yang dampaknya mungkin hanya sebatas mendapatkan nilai secukupnya. Akan tetapi, bagaimana jika kesalahan terjadi pada dunia medis, seperti kesalahan penerjemahan dalam diagnosa penyakit pasien, atau kesalahan penerjemahan draf kontrak yang berskala nasional maupun internasional, atau kesalahan pemahaman teks yang bermuatan politis. Tentunya kesalahan-kesalahan tersebut tidak dapat ditoleran.
            Oleh karena itulah, di awal tulisan ini penulis mencantumkan kalimat di atas yang secara bebas dapat diartikan ‘Hendaknya berhati-hatilah dalam meminta bantuan penerjemahan, karena kesalahan menerjemahkan sesuatu akan berakibat fatal’. Siapapun orangnya, jika ia berprofesi sebagai penerjemah tentunya harus memahami konsekuensi jabatan penerjemah yang diembannya. Dia harus menyadari jika proses penerjemahan itu bukanlah suatu hal mudah dengan hanya mengartikan kata demi kata, tapi juga harus memperhatikan aspek-aspek di luar itu, seperti melihat konteks, sikap penutur, kebijakan politis, dan lain-lain.  
            Tulisan ini sebenarnya terinspirasi dari isu yang sedang hangat mengenai berita yang diangkat surat kabar terkenal Inggris The Independent yang ditulis oleh Andrew Johnson pada hari Senin, 1 September 2014. Tulisannya berjudul “Saudis may risk Muslim divison with proposal to move Mohamed”s tomb”. Dalam laporannya, The Independent menuliskan bahwa makam Nabi Muhammad di Masjid Nabawi, Madinah akan "dibongkar" dan akan dipindahkan ke lokasi pemakaman Baqi, komplek perkuburan yang terletak sekitar 30 meter di sebelah timur Masjid Nabawi yang di dalamnya terdapat makam sahabat dan keluarga dekat Rasul Saw, di antaranya seperti Usman bin Affan, Aisyah binti Abu Bakar, dan Hasan bin Ali.
            Akibat pemberitaan itu, berbagai opini pro dan kontra terjadi di sejumlah negara Islam besar, termasuk di Indonesia. Bahkan warga Dhaka, Bangladesh berniat mengepung Kedutaan Besar Arab Saudi karena "termakan" isu dari The Independent tersebut sebagaimana laporan beberapa media online yang penulis kunjungi. Di Indonesia sendiri, menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin langsung mengklarifikasi permasalahan ini dengan dubes Arab Saudi, Mustafa Ibrahim Al-Mubarak yang menyatakan adanya kesalahpahaman interpretasi dalam memahami kajian ilmiah berupa laporan konsultasi tentang pemugaran mesjid Nabawi, Medinah yang diajukan oleh Dr. Ali bin Abdulaziz al-Shabal, salah seorang tenaga pengajar pada Imam Muhammad ibn Saud Islamic University di Riyadh. Namun, The Independent mengklaim laporan mereka bersumber dari seorang akademisi yang kredibel di Arab Saudi, Dr Irfan al-Alawi, direktur yayasan penelitian peninggalan Islam (Islamic Heritage Research Foundation), yang sudah membaca langsung karya Dr. Ali bin Abdulaziz al-Shabal.
            Lantas, klaim manakah yang benar? Atau memang terdapat isu propaganda politis di balik pemberitaan tersebut? Atau Jika memang keliru penerjemahannya, dimanakah letak kesalahan penerjemahan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini mengusik penulis untuk mencoba mencari akar permasalahan pada kasus ini. Lalu, sebagai langkah awal, penulis mencari artikel orisinil mengenai kajian studi ilmiah Dr. Ali bin Abdulaziz al-Shabal tentang perluasan mesjid Nabawi dan artikel yang ditulis oleh pewarta berita Saudi Newspaper berbahasa Arab pada tanggal 25 Agustus 2014, Omar al-Mudhwahi, sebagai reaksi setelah membaca laporan studi yang dilakukan Dr Ali bin Abdulaziz Al Shabal. Penelusuran teks sumbernya dianggap begitu penting untuk memahami substansi teks asli. Akhirnya, kedua dokumen tersebut penulis temukan. Kutipan studi ilmiah berupa laporan konsultasi pemugaran mesjid Nabawi terdapat pada laman www.faculty.mu.edu.sa/download.php?fid=77545, dan pemberitaan Omar al-Mudhawi pada laman www.makkahnewspaper.com/makkahNews/.../70 atau blog pribadi beliau pada laman http://almudhwahi.blogspot.com/2014/08/blog-post_26.html.
            Kajian ilmiah berkaitan tentang hal-hal yang berkaitan dengan wacana perluasan mesjid Nabawi ditulis Dr. Ali tersebut berjudul “ عمارة مسجد النبي عليه السلام ودخول الحجرات فيه دراسة عقدية” yang berarti “Pemugaran dan Akses Area (peninggalan Rasul Saw, termasuk makam) pada Mesjid Nabawi, Studi Pendekatan Komprehensif”.  Pada tahap awal, penulis mengkaji secara personal hasil studi ilmiah Dr. Ali bin Abdulaziz, dengan bantuan google translate dan kamus bahasa Arab online untuk memahami maksud teks secara umum (transfer and initial draft). Begitu juga dengan berita yang ditulis Omar al-Mudhawi. Lalu, untuk memahami teks secara utuh agar dapat dipertanggungjawabkan kepahaman terhadap kedua sumber tersebut, penulis menerapkan teknik triangulasi, yaitu suatu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data. Dalam hal ini, penulis meminta bantuan Saudara Murhaban, M.A., lulusan Sudan University. Nah, secara umum informasi tentang kedua sumber tersebut tidak jauh berbeda, kecuali penjelasan Murhaban lebih detil. Pada kedua sumber tersebut tidak ditemukan ungkapan yang secara eksplisit mengisyaratkan agar makam Rasul Saw dipindahkan ke pemakaman baqi sebagaimana laporan the Independent.  Bahkan, pada berita  Omar al-Mudhawi yang dimuat pada harian Makkah Newspaper edisi bahasa Arab dengan jelas menggunakan kata عَزَلَ yang bermakna to isolate bukan to destroy. Ungkapan ini jelas terlihat pada ungkapan Omar
طالب باحث أكاديمي بإخراج وعزل حجرات النبي صلى الله عليه وسلم من حرم المسجد النبوي الشريف

            Pada ungkapan di atas Omar menggunakan kata بإخراج dari akar kata خَرَج ‘keluar’ dan kata عزل ‘isolasi’ yang bermakna ‘to isolate from or to dismiss from ‘mengisolasi sesuatu’.  Jika merujuk pada kamus Arab Online almaany (sayangnya hanya versi Arab-Inggris dan Arab-Arab), kata إخراج berarti to drive somebody out/away/from, etc., to force someone to leave a place, tetapi jika versi Arab-Arab, kata إخراج, bermakna غلق الحدود بإحكام ‘closing the border tightly’ yang berarti membatasi sesuatu dengan ketat (membatasi akses). Nah, dari kedua terjemahan kata إخراج ini dapat dipahami jika adanya keinginan untuk mengisolasi/membatasi akses ke makam Rasul Saw, termasuk beberapa ruangan peninggalan Rasul Saw yang terdapat dalam mesjid Nabawi. Hal ini diperkuat dengan informasi tambahan pada frasa وفصلها بجدار yang bermakna separated by a wall ‘dipisahkan dengan material dinding pembatas’. Jadi, isolasi yang dikehendaki di sini bukanlah memindahkan makam Rasul, tetapi bagaimana caranya menjadikan makam Rasul dan beberapa ruangan peninggalannya menjadi bukan bagian dari Mesjid Nabawi, meskipun terletak dalam mesjid. Menurut Murhaban, baik Omar maupun Dr. Ali bin Abdulaziz tidak menggunakan kata قبر ‘makam’ tetapi menggunakan kata ٱلْحُجُرَٰتِ ‘ruangan-ruangan’ dari akar kata حُجْرَة yang bersinonim dengan kata غُرْفَة ’kamar’. Namun, Omar berbeda pendapat dengan Dr Ali berkaitan dengan anggapan Dr. Ali yang menginginkan adanya pembatas yang lebih jelas antara makam Rasul Saw dan ruangan peninggalannya dengan keberadaan Mesjid Nabawi itu sendiri. Selama ini menurutnya, makam Rasul Saw sepertinya sudah menjadi bagian mesjid. Sedangankan menurut Omar, makam Rasul Saw dan ruangan peninggalan Rasul Saw lainnya masih terpisah dari Mesjid dengan adanya dinding pembatas seperti yang telah ada sekarang. Barangkali ini dikarenakan adanya perbedaan sudut pandang dalam memahami bangunan makam Rasul yang sudah berada di dalam mesjid setelah adanya beberapa kali pemugaran mesjid Nabawi.
            Ketika ditelaah lebih jauh, studi ilmiah yang dilakukan Dr. Ali bin Abdulaziz yang terdiri atas 9 bab tersebut hanya mendeskripsikan sejarah pemugaran mesjid Nabawi sejak khalifah Umar dan para sahabat sesudahnya, termasuk pada masa kesultanan usmani, berupa apa saja yang dipugar dan apa saja yang mesti dikritisi, seperti bentuk-bentuk ornament dan tulisan-tulisan di dinding ruangan makam Rasul Saw dan ruangan lainnya, termasuk tidak merekomendasi untuk pengecatan ulang terhadap kubah di atas makam Rasul Saw. Jadi, jelas terlihat tidak ada sedikitpun bukti yang berimplikasi adanya pendapat Beliau yang menyarankan pemindahan makam Rasul Saw ke pemakaman baqi’ sebagaimana laporan The Independent. Namun, menurut Omar memang ada pendapat Dr. Ali yang berkeinginan untuk memperketat akses ke makam Rasul Saw untuk menghindari tindakan yang cenderung syirik. Dari berbagai keterangan di atas, kiranya dapat ditarik benang merah jika sepertinya ada muatan politis tertentu yang menyebabkan the Independent mengangkat isu pemindahan makam Rasul Saw sebagai isu propaganda terhadap kebijakan pemerintah Saudi Arabia yang super ketat menutup akses rapat-rapat terhadap berbagai kebijakan yang berkaitan dengan Masjidil Haramain.
            Dari kasus ini, jelas kesalahan penerjemahan terutama pada kasus-kasus tertentu telah menimbulkan dampak yang luar biasa. Kesalahan menerjemahkan suatu ungkapan dapat berakibat fatal yang tidak tanggung-tanggung jutaan orang dapat menjadi korban sia-sia. Barangkali kita masih ingat tragedi bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945. Konon, tragedi perang paling mengerikan sepanjang sejarah peradaban manusia tersebut terjadi karena kesalahan penerjemahan? Dari berbagai catatan sejarah, Pada tanggal 26 Juli 1945, Amerika Serikat menerbitkan Postdam Declaration yang isinya menuntut Jepang untuk menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Perdana menteri Jepang, Suzuki Kantarou saat itu, mengadakan pidato kenegaraan melalui corong radio yang disiarkan ke seluruh penjuru bumi. Pidatonya berbunyi, Seifu wa kore o mokusatsu shi, aku made sensou kanchiku ni maishin suru. Sayangnya, kantor berita Doumei menerjemahkan ungkapan tersebut menjadi Goverment is ignoring the declaration and until then we still go forward with the war solution. Pemerintah AS yang mendengarnya mengira ignoring “mokusatsu” sama dengan rejecting. Padahal, kata “mokusatsu” tidak hanya berarti ‘menolak’ tetapi dapat juga berarti ingin berdiam diri sejenak atau tidak berkomentar dulu. Jadi, ungkapan pidato Suzuki Kantoro secara bebas dapat diterjemahkan menjadi  “untuk sementara tidak ada komentar, kami akan memikirkan tawaran tersebut”. Namun, nasi telah menjadi bubur, kesalahan penggunaan diksi yang tepat dalam interpretasi ungkapan tersebut telah membuat Presiden Harry S Truman marah besar, dan sepuluh hari kemudian, Hiroshima rata dengan tanah, disusul Nagasaki 3 hari kemudian.
            Ada satu kasus lainnya yang juga melibatkan Presiden Amerika, Jimmy Carter ketika terjadi perang dingin dengan negara-negara komunis pada tahun 1973. Saat itu, Carter berpidato yang salah satu ucapannya I have come to learn your opinions and understand your desires for the futuresaya mencoba memahani opini rakyat Polandia dan mencoba mengerti keinginan kalian di masa depan—malah diterjemahkan menjadi I desire the Poles carnally—saya ingin dan perlu berhubungan seks dengan rakyat Polandia. Tentu saja pidato Carter ini menjadi bahan tertawaan rakyat Polandia saat itu, bahkan hingga saat ini.
            Pada tataran yang lebih dapat ditoleransi, kekeliruan pemilihan diksi pun acapkali menghadirkan problema tersendiri. Penulis mengamati sendiri ketika Aceh masih dalam status darurat militer, pernah suatu hari salah satu media lokal menggunakan diksi mati bukan gugur untuk mendeskripsikan anggota TNI/Polri yang ditembak anggota GAM. Akibat penggunaan diksi yang dirasa kurang berempati kepada warga negara yang gugur membela negara, koran tersebut diharuskan mengklarifikasi kembali beritanya.
            Dalam lingkup hubungan internasional, negara kita pernah bersiteru dengan Australia berkaitan dengan Timor Timur sebelum memisahkan diri dengan NKRI. Nah, karena perspektif kebijakan politik luar negeri Kita, permasalahan bersifat politis tersebut pun ikut menyeret dunia penerjemahan. Machali (2009:173), dalam bukunya Pedoman bagi Penerjemah, ­memberi contoh:

            When  Indonesia  annexed  the  former  Portuguese  colony  East Timor in 1975 many     Australians understood this as part of the process decolonization.

            Teks di atas tidak diterjemahkan seperti teks sasaran berikut ini:

            Ketika  Indonesia  mencaplok  Timor  Timur,  bekas koloni  Portugis  di  tahun  1975         banyak  orang  Australia  yang melihatnya  sebagai  proses dekolonisasi.

            melainkan dengan melakukan teknik modifikasi dengan mengganti kata ‘mencaplok’ dengan kata ‘berintegrasi’ sehingga terjemahannya menjadi:
           
            Ketika  Timor  Timur, sebagai  bekas  koloni  Portugis, berintegrasi  dengan  Indonesia    pada  tahun  1975  banyak  orang Australia  yang  meng-anggapnya sebagai proses     dekolonisasi.

            Meskipun terkesan penerjemahan yang tidak setia, pertimbangan perspektif politis tidak dapat dielakkan. Pada kasus lain, ketika berlangsungnya prosesi pemakaman tokoh Afrika, Nelson Mandela, juga terjadi blunder ketika sang penerjemah bahasa isyarat, Thamasanqa Jantjie yang berada di samping sejumlah pemimpin dunia, yang hadir dalam kebaktian saat itu  menerjemahkan bahasa isyarat secara kacau balau. Kasus ini membuat malu Wakil Menteri Afrika Selatan urusan defabel, Hendrietta Bogopane-Zulu yang kemudian mengkonfirmasi jika Jantjie memang bukan penerjemah bahasa isyarat professional dan meminta maaf atas ketidaknyamanan tersebut.
            Dari beberapa kasus blunder dalam dunia penerjemahan tersebut, kiranya menjadi pelajaran berharga bagi para penerjemah dalam menekuni profesinya yang kadang harus ‘menipu dan berbeda sikap’ dengan batinnya sendiri ketika adanya tuntutan di luar teks yang tidak mampu dilawannya. Namun, hal ini tentunya menjadi cambuk bagi penerjemah pemula untuk terus mengasah kemampuan dan bersikap bijak dan bertanggungjawab terhadap teks yang dterjemahkannya.

Referensi:
http://www.almaany.com/home.php?
http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/12/13/7/201164/Penerjemah-           Gadungan-di-Kebaktian-untuk-Mandela-Alami-Skizofrenia

Machali, Rochayah, 2009. Pedoman Bagi Penerjemah;panduan lengkap bagi Anda yang ingin     menjadi penerjemah professional. Bandung. PT Mizan Pustaka.

Tokoh Anutan Bahasa Aceh

   
Abdul Gani Asyik, Ph.D.
Sosok sederhana ini merupakan pakar linguistik dari Bumi Serambi Mekkah, Aceh. Jebolan The University of Michigan, Amerika ini acapkali menjadi referensi bagi para linguis yang ingin mempelajari bahasa Aceh. Tidak hanya bagi linguis di tanah air, tetapi juga bagi para linguis dari mancanegara. Bahkan, Mark Durie, pakar linguistik Australia, dalam disertasinya padaAustralian National University (1984)“A Grammar of Acehnese, On the Basis of a Dialect of North Aceh”,tanpa ragu memuji pakar bahasa ini yang lebih terkenal dengan sebutan Asyik, “Asyik is very fluent in English and a native speaker of Acehnese. I owe a debt of scholarship to Abdul Gani Asyik of Unsyiah for his gracious discussions and correspondence with me about Acehnese. I have learnt a great deal from him and his written works”.
Abdul Gani Asyik lahir pada tanggal 12 Agustus 1936 di kampung Teupin Punti, Lhokseukon, Aceh Utara. Lebih kurang 320 Km dari Banda Aceh. Orang tuanya, Tgk. M.Asyik dan Aminah. Semenjak kecil Asyik telah ditanamkan pola hidup disiplin. Dengan latar belakang pendidikan agama yang baik, Asyik kecil tumbuh menjadi pemuda yang memiliki visi masa depan yang melewati batas pandangan kampung halamannya di pedalaman Aceh dan memiliki semangat untuk selalu menjadi yang terbaik. Sejak menempuh pendidikan di SR (Sekolah Rakyat) Arun, intelektualitasnya sudah terlihat. Ia selalu menjadi juara I di kelasnya. Oleh karena itu pula, Ia memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan di SG B Kuta Raja (Banda Aceh sekarang) pada tahun 1951. Selama studi di SG B, Asyik selalu juara kelas sehingga mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke SG A tahun 1957 juga di Kuta Raja. Setamat dari SG A, Asyik mengabdi menjadi guru SMP di Samalanga (1957—1967). Dalam rentang waktu tersebut, selain menjadi guru, Asyik juga pernah menjabat sebagai kepala sekolah SMP Samalanga, SMA Pembangunan Samalanga, dan SMEP Tamaddun di Banda Aceh. Banyak tokoh daerah dan nasional menjadi muridnya, salah satunya adalah Dr. Ahmad Farhan Hamid, M.S., wakil ketua MPR sekarang. 
Pada tahun 1962, Asyik dikirim ke Banda Aceh untuk mengikuti program PGSLP, suatu program pembekalan bagi guru bahasa Indonesia selama 20 bulan. Dalam pelatihan tersebut Asyik mendapat peringkat lulusan terbaik. Bekal pelatihan tersebut memberi pengaruh yang luar biasa bagi Asyik dalam pemahamannya mengenai dunia linguistik. Setelah mengabdi selama 10 tahun di Samalanga, Asyik melanjutkan pendidikan ke Universitas Syiah Kuala pada jurusan Bahasa Inggris. Saat itu, prodi bahasa Inggris Unsyiah statusnya masih cabang dari IKIP Bandung. Ia hanya butuh waktu 2 tahun untuk menyelesaikan studinya tahun 1969 karena dengan nilai akademiknya yang di atas rata-rata, ia mendapat promosi dari tingkat 1 ke tingkat 3. Setamat dari Unsyiah, Asyik mendapat beasiswa dari The Ford Foundationuntuk melanjutkan studinya ke IKIP Malang (tingkat 4, setara S1) pada tahun 1971 dan 2 tahun kemudian berhasil tamat dengan predikat pujian. Bahkan, skripsinya pun diselesaikan sebelum masa studinya berakhir. 
Pulang dari Malang, ia mendapat promosi dari guru SMP di kampung nun jauh dari kota menjadi salah seorang dosen muda potensial di Unsyiah pada prodi Bahasa Inggris. Setahun lebih mengabdi di Unsyiah, Asyik kembali mendapat pelatihan pendidikan selama 4 bulan dalam program INNOTECH—Educational Innovation and Technology center—dari SEAMEO (South East Asian Ministers of Education Organization) pada tahun 1974 di Saigon, Vietnam. Selesai menempuh pelatihan tersebut, Asyik terpilihmenjadi salah satu dari 7 putra terbaik Indonesia yang berhasil mendapatkan beasiswa dari The British Council untuk melanjutkan pendidikan di The University of Leeds, Inggris pada jurusan The Teaching of English Overseas selama 1,5 tahun. 
Setelah menyelesaikan studinya di Leeds, Asyik pulang ke Aceh dan kembali mengabdi di Unsyiah. Pada tahun 1981 Asyik kembali mendapat beasiswa unggulan dari PT Caltex Pacific Indonesia untuk melanjutkan studi S2 pada The University of Michigan, Amerika Serikat. Saat itu, ia terpilih satu dari 4 kandidat yang menyisihkan kandidat lainnya dari 49 universitas yang ada di Indonesia. Pada tahun 1983 Asyik menyelesaikan pendidikan S2 dengan predikat pujian. Prof. John M Lawler menyarankannya melanjutkan pendidikan ke jenjang S3 pada jurusan yang sama, linguistik. Saat itu, Asyik agak dilematis karena PT Caltex hanya terbatas mendanai studi S2-nya saja. Lalu, Prof. Lawler berinisiatif menghubungi Mobil Oil untuk mendanai pendidikan Asyik. Berkat pertolongan Allah Swt, Asyik dibiayai pendidikannya hingga kembali lulus cumlaude dan meraih gelar Ph.D., di bidang linguistik pada tahun 1987 dengan disertasinya A contextual grammar of Acehnese sentences. Disertasinya tersebut hingga kini menjadi referensi wajib bagi para linguis luar negeri yang berminat dengan bahasa Aceh.
Setelah menyelesaikan studinya, Asyik kembali mengajar di almamaternya hingga pensiun pada tahun 2001. Sosok yang dikenal disiplin, ramah, dan low profile ini tidak hanya mengabdikan ilmunya di Unsyiah, tetapi juga di beberapa universitas di Banda Aceh, seperti di IAIN Ar-Raniry, STIE Lamlagang, Universitas Serambi Mekkah, dan Universitas Chik Pante Kulu. Sejak pensiun dari Unsyiah, beliau lebih banyak mengabdikan dirinya di Universitas Serambi Mekkah Aceh. Berbagai jabatan penting disandangnya, mulai dari ketua prodi bahasa Inggris, pembantu dekan I, pembantu rektor I hingga menjabat sebagai rektor sejak tahun 2009 hingga sekarang. Namun, selama tahun 2007—2009) beliau berhenti sejenak di Universitas Serambi Mekkah karena dipercayakan menjabat sebagai dewan pengawas BRR (Badan Rekonstruksi dan Rehabilatasi) Aceh pascastunami tahun 2004 yang merengut ratusan ribu orang Aceh, termasuk dua anak kandungnya.    
Selain ahli linguis, Asyik juga ahli bermain musik. Gitar, viola, piano, drum, hingga seruling mampu ia mainkan dengan baik. Uniknya semua itu dipelajarinya secara otodidak. Bahkan, di masa muda ia sempat membuat grup band di beberapa sekolah yang dipimpinnya pada tahun 1960-an. Kini, pada usia menjelang 80 tahun, Asyik terlihat masih enerjik dan stylish, raut wajahnya terlihat lebih muda dari usianya. Ini menandakan jika sosok teladan ini telah berhasil me-manage hidupnya dengan baik. Di ruang Rektor Universitas Serambi Mekkah beliau memesan bagi generasi muda, khususnya di Aceh untuk dapat belajar yang rajin, hidup disiplin, dan selalu berkarya. Dalam kaitannya dengan kepakarannya di bidang bahasa, Beliau menitip pesan agar bahasa daerah semestinya dapat dipertahankan, dimulai dari ranah keluarga. Jika tidak, bahasa-bahasa daerah, terutama yang penuturnya sedikit, seperti bahasa haloban, bahasa klut, bahasa devayan yang terdapat di barat selatan Aceh akan punah ditelan masa. Oleh karena itu, ketika dalam seminar bahasa dalam rangka Pekan Kebudayaan Aceh ke 3 pada tahun 1988 lalu, Beliau menganjurkan agar bahasa Aceh tetap dipakai hingga kelas 3 SD dalam dunia pendidikan. Selain itu, bahasa Aceh juga disarankan agar dipakai di dunia kerja dan menganjurkan adanya surat kabar berbahasa Aceh yang terbit berkala. Kekhawatiran Beliau saat itu sangatlah beralasan karena ada semacam anggapan bahwa berbicara bahasa Aceh (bahasa daerah) dianggap kurang prestise dan kelihatan kampungan sehingga dimana-mana, terutama di Banda Aceh sangat sedikit orang yang berbicara bahasa Aceh. Namun, dewasa ini, kondisi bahasa Aceh telah jauh membaik. Mengenai ejaan bahasa Aceh, beliau menyarankan agar di dunia akademik, ejaan peninggalan Snock Hurgronje yang disempurnakan kemudian oleh ejaan Budiman Sulaiman, dkk., tetap dipertahankan. Akan tetapi, pada penggunaan ragam tulis bahasa Aceh di media luar ruang, di surat kabar, di berbagai spanduk dan media iklan lainnya, Beliau menyarankan digunakan ejaan praktis versi Abdul Gani Asyik (transliterasi bahasa Aceh latin, 1988). “Ejaan praktis yang saya tawarkan tidak lagi menggunakan tanda-tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut,dll., sehingga memudahkan masyarakat Aceh untuk menggunakan bahasanya”, tutup sang pakar, ayah dari Alm. M. Nur, Azhari, Asri dan Almh. Fajriah dari isteri Almh. Khadijah.
Jabatan yang pernah dipercayai
1. Kepala SMP Samalanga, Aceh Utara
2. Kepala SMA pembangunan, Samalanga, Aceh Utara
3. Kepala SMEP Tamaddun Banda Aceh, 1961-1962
4. Ketua jurusan prodi bahasa Inggris Unsyiah (berulang kali)
5. Ketua jurusan prodi bahasa Inggris Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh, 2001
6. Dekan Fakultas Sastra Universitas Chik Pante Kulu, Banda Aceh, 1999
7. Pembantu Dekan I Universitas Serambi Mekkah, 2005 (2 bulan)
8. Pembantu Rektor I Universitas Serambi Mekkah, 2005—2007 
9. Dewan Pengawas BRR (Badan Rekonstruksi dan Rehabilatasi) Aceh, 2007—2009
10. Rektor Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh sejak2009 s.d. sekarang (periode ke-2)
Prestasi
1. Lulusan terbaik SR Arun, 1951
2. Lulusan terbaik SGB (1953) dan SGA (1957), Kuta Raja (Banda Aceh)
3. Lulusan terbaik program PGSLP Banda Aceh, 1962
4. Lulusan terbaik seleksi beasiswa The Ford Foundation regional Sumatera Utara-Aceh dan menjadi salah satu dari 15 putra terbaik tanah air dari 15 titik kota seleksi seluruh Indonesia.
5. Lulusan terbaik IKIP Malang, 1972
6. Lulusan dengan predikat pujian pada program magister dan doktor linguistik, The University of Michigan, Amerika. 
Karya-karyanya, antara lain:
1. Atjehnese morphology(Skripsi, InstitutKeguruan dan Ilmu Pendidikan Malang, 1972)
2. Bunyi Bahasa dalam Bahasa Aceh (Fakultas Keguruan Unsyiah, Banda Aceh, 1978)
3. System of agreement in Acehnese(Makalah yang dipresentasikan pada seminar linguistik di University of Chicago, 1982 juga dimuat dalam The Mon-Khmer Studies Journal, vol. 11, p. 1-33)
4. A contextual grammar of Acehnese sentences (Disertasi, The University of Michigan, 1987)
5. Meningkatkan Peranan Bahasa Aceh (Makalah dalam rangka seminar bahasa dan budaya pada PKA III, 1988 juga dimuat dalam majalah Sinar Darussalam, 1988)
6. Ejaan Transliterasi Bahasa Aceh ke dalam Tulisan Latin (Makalah dalam Lokakarya Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 1992)
7. Editor terjemahan Alquran bahasa Aceh karya Ulama Aceh, Tgk.H. Mahyuddin Yusuf
8. Editor berbagai buku muatan lokal bahasa Aceh
9. Penelitian-penelitian bahasa Gayo, Alas, dan Simeulu. 
No HP : 085260961520
Email : asyik_abdulgani@yahoo.com
Alamat Rumah: Jln. Bahagia No. 8, Gampong Laksana, Banda Aceh
Alamat Kantor :Universitas Serambi Mekkah, Jln. Teungku Imum Lueng Bata, Batoh, Banda Aceh.
(Rmt/BBA)

Pesta Kenangan 16 Desember 2004

Pesta Kenangan 16 Desember 2004
Tsunami telah meninggalkan bekas untuk sejuta kenangan di dada

Sulitkah Anda menulis bahasa Aceh?