Jumat, 19 September 2014

Teknik Penerjemahan

Teknik Penerjemahan
Rahmat, S.Ag.
Balai Bahasa Banda Aceh

Alhamdulillah pada medio Februari 2007, penulis mempunyai kesempatan mengikuti pelatihan penerjemahan bagi penerjemah pemula di Pusat Bahasa Jakarta. Sebagai seorang yang awam di dunia penerjemahan, pelatihan tersebut cukup memberi arti penting bagi wawasan penulis bahwa sebetulnya dunia penerjemahan merupakan dunia dengan daya tarik tersendiri, seperti menambah cakrawala berpikir dan ilmu pengetahuan di samping ikut membantu penambahan uang sampingan tentunya. Akan tetapi, setelah pelatihan itu berakhir, penulis berasumsi bahwa dunia penerjemahan merupakan dunia yang membutuhkan proses panjang untuk mencapai tingkat seorang penerjemah profesional seperti penerjemah tersumpah. Rutin menerjemah dan banyak membaca merupakan dua hal mutlak yang harus diperlukan seorang calon penerjemah yang baik. Dalam tulisan ini, penulis mencoba berbagi dari apa yang telah penulis dapatkan di sana karena narasumber di pelatihan itu merupakan para ahli di bidangnya, salah satunya adalah Prof. H. Benny Hoed--Guru Besar Penerjemahan UI-- dan ayah Anto Hoed--suami penyanyi pop kreatif Melly Goeslow.
Menurut Prof H. Benny H Hoed, terdapat 8 teknik penerjemahan yang seyogianya dipahami oleh seorang penerjemah, yaitu (1) Transposisi, artinya kadang-kadang penerjemah dituntut untuk mengubah struktur kalimat supaya memperoleh terjemahan yang tepat. Contoh, trade secrets and confidential diartikan menjadi ‘rahasia dagang’. (2) Modulasi, artinya memberikan padanan semantik berbeda cakupan maknanya, tetapi secara konteks pesannnya sama. Contoh, the laws of Germany govern this agreement diartikan menjadi ‘perjanjian ini diatur oleh hukum jerman’. (3) Penerjemahan deskriptif, yaitu pendeskripsian kata bahasa sumber terjemahan (BSu) karena tidak ada padanan kata dalam bahasa sasaran penerjemahan (BSa). Contoh, licensed software diartikan menjadi ‘perangkat lunak berlisensi’. (4) Contextual conditioning, yaitu menerjemahkan teks sumber dengan memperhatikan makna secara kontekstual, (5) Catatan kaki, artinya penerjemah kadang-kadang (jika dianggap penting) perlu juga mendeskripsikan kata atau frasa sulit dengan memberi catatan kaki sehingga makna yang dikandung Teks Sumber (TSu) lebih jelas dan mudah dimengerti. (6) Penerjemahan fonologis. Contohnya kata license diartikan menjadi ‘lisensi’. (7) Penerjemahan baku, yaitu terjemahan yang sudah mempunyai pedoman standar. Contohnya nama Kota Munich diartikan menjadi Kota Munchen. (8) Tidak diberikan padanan sama sekali. Teknik ini diberlakukan jika menurut penerjemah tidak ada padanan kata atau ungkapan yang memiliki makna sepadan antara Teks Sumber (TSu) dengan Teks Sasaran (TSa) sehingga penerjemah tetap memakai TSu dalam penerjemahannya. Hal ini misalnya sering terjadi dalam penerjemahan istilah-istilah kedokteran.  
Pekerjaan menerjemah sebenarnya bukan hal yang mudah tapi juga tidak sulit. Hal ini dikarenakan selama proses penerjemahan, kita dituntut untuk terlebih dahulu membaca dan mengerti suatu tulisan. Langkah ini dikenal dengan istilah deverbalisasi, yaitu langkah awal dalam penerjemahan dengan teknik mencari pesan yang ada sebelum dilakukan penerjemahan. Setelah itu, proses penerjemahan memasuki tahap “translation is for discussion”, artinya untuk langkah pertama, kata-kata yang sulit ditinggalkan dulu, lalu diterjemahkan secara kontekstual. Setelah melewati tahap deverbalisasi baru menentukan untuk tujuan apakah hasil penerjemahan dan kepada siapakah sasaran hasil penerjemahan. Jika seorang penerjemah salah dalam menentukan kedua hal dimaksud maka proses penerjemahan diyakini telah menemui jalan buntu dari hasil terjemahan yang diharapkan. Selain itu, sering kali penerjemah pemula berhadapan dengan problematika klasik proses penerjemahan. Penerjemah yang memiliki kemampuan membaca dan mengerti suatu tulisan yang baik belum tentu berarti mempunyai kemampuan untuk menerjemahkan suatu tulisan dengan lancar dan benar. Oleh karena itu, seorang penerjemah perlu juga menguasai dua kriteria, yaitu menguasai kedua bahasa yang dihadapinya, baik BSu maupun BSa. Dengan menguasai kedua bahasa tersebut secara maksimal diharapkan dapat menghasilkan terjemahan yang baik. Selain menguasai BSu dan BSa, penerjemah yang baik juga seharusnya mampu memahami kebudayaan dan alam yang melatari kedua bahasa tersebut. Penggunaan sebuah metafora asing tidak akan pernah dimengerti oleh pembaca yang tidak mengenal metafora tersebut, bila tidak disesuaikan dengan metafora di dalam BSa.
Selain penguasaan terhadap BSu dan BSa, pemahaman terhadap materi atau topik yang diterjemahkan juga perlu diperhatikan. Menerjemahkan suatu karya sastra misalnya, akan kehilangan rasa sastranya bila diterjemahkan secara baku tanpa mengindahkan nilai kepuitisannya. Sementara menerjemahkan suatu karya dengan topik kedokteran pasti akan berbeda dengan karya yang bertemakan teknik atau keuangan. Misalnya, dalam dunia perbankan dikenal istilah "A balance sheet”. Bila frasa tersebut diterjemahkan secara harfiah tanpa pengetahuan memadai di bidang ekonomi menjadi ‘selembar keseimbangan’. Terjemahan seperti ini justru tentu akan membingungkan orang-orang dari kalangan  ekonomi. Padahal frasa "A balance sheet” lebih wajar dan berterima dengan terjemahan ‘Neraca’.
Terdapat tiga hal yang harus dimiliki seorang penerjemah agar ia menjadi penerjemah yang baik. Pertama, seorang penerjemah yang baik seharusnya memiliki pengetahuan umum yang memadai dan jika perlu ia juga setiap hari mengikuti perkembangan dunia. Hal ini dibutuhkan agar ia mampu menangkap konteks kata, ungkapan, uraian teks yang akan diterjemahkannya. Misalnya, ketika ia menemukan teks Uruguay Round, ia harus jeli dengan istilah tersebut. Penerjemah seharusnya tidak terjebak dengan menerjemahkan menjadi ‘Babak Negara Uruguay’ yang sama sekali lari dari  pesan TSu padahal istilah tersebut merupakan istilah yang berkaitan dengan WTO (world trade organization). Kedua, seorang penerjemah yang baik harus memiliki pengetahuan khusus jika ia menjadi penerjemah di bidang khusus, misalnya: hukum, teknik, atau kedokteran sehingga hasil penerjemahannya menjadi lebih valid, terpercaya, dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini perlu diperhatikan karena risiko kesalahan akan berakibat fatal bagi pembaca teks terjemahan. ketiga, seorang penerjemah yang baik harus memahami ungkapan "La soumission devant le texte" yaitu ‘merendahkan diri di hadapan teks’. Maksudnya, seorang penerjemah harus memosisikan dirinya sebagai seorang yang bertanggung jawab di hadapan teks. Sedikit saja ia cerobah dan tidak hati-hati dalam menerjemahkan, ia telah menjadi penerjemah yang tidak profesional dan tidak bertanggung jawab atas profesi yang diembannya. Oleh karena itu, dalam dunia penerjemahan sangat dituntut sikap profesionalisme dan moral yang tinggi agar pengalihan pesan betul dan berterima.
Sebaiknya, sebelum melakukan penerjemahan, seorang penerjemah yang baik akan melakukan tiga langkah yang akan membantunya dalam tugas-tugas penerjemahan. Ketiga langkah tersebut adalah
 (1) Audience design (sasaran penerjemahan). Sebelum melakukan penerjemahan, penerjemah yang baik seharusnya mengetahui kepada siapa TSa akan ditujukan. Hal ini perlu dilakukan untuk menjadikan TSa tepat sasaran dan mudah dipahami maknanya. Dengan mengetahui sasaran penerjemahan, seorang penerjemah akan menggunakan bahasa, istilah, atau ungkapan-ungkapan tertentu yang dianggap dapat dipahami oleh yang memerlukan teks terjemahan. Jika teks yang akan diterjemahkan merupakan teks kedokteran (dengan begitu banyak istilah latin) akan ditujukan untuk masyarakat dengan latar belakang pendidikannya bukan kedokteran, bahkan mungkin masyarakat awam, seharusnya kita menggunakan istilah-istilah yang mudah dipahami atau jika perlu kita menambah dengan uraian tambahan (catatan kaki, misalnya). Contoh: penyakit tubercle bacillus; tuberculosis, kita gunakan ungkapan penyakit TBC saja yang lebih mudah meraka pahami.
 (2) Need analysis (tujuan penerjemahan), untuk kebutuhan di bidang apakah penerjemahan tersebut, langkah ini perlu dilakukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh yang memberikan teks terjemahan. Misalnya, teks yang diterjemahkan merupakan teks tentang perundang-undangan, tentunya penerjemah harus melakukan penerjemahan dengan berbagai referensi dan menggunakan bahasa baku. Selain itu, TSu yang bermuatan politis juga seharusnya diterjemahkan dengan bijak. Misalnya, frasa Palestine militant dalam teks politik luar negeri harus diartikan dengan ‘pejuang palestina’ dan bukan ‘militan palestina’ yang berkonotasi negatif. Atau the chief of Palestine, tidak diartikan ‘Kepala Daerah Palestina’ tetapi ‘Presiden Palestina’ sesuai dengan kebijakan pemerintah Indonesia dan masyarakat muslim Indonesia yang pro perjuangan palestina.
(3) Equivalence, artinya yang diutamakan adalah kesepadanan makna bukan kesejajaran formal (formal correpondence) dari teks sumber. Sebagaimana yang kita maklumi penerjemahan merupakan kegiatan mengalihkan pesan dari bahasa sumber (Source Language) ke dalam BSa (Target Language). Oleh karena itu, dalam melakukan penerjemahan yang diprioritaskan bukanlah kesejajaran formal (formal correspondence), tetapi kesepadanan makna (equivalence). Mari kita lihat contoh berikut ini:
            
            (1a) People to watch in international business.
            (1b) Tokoh yang patut diperhitungkan dalam bisnis internasional.

Pada contoh (1a) people to watch tidak kita artikan dengan teknik word for word translation, karena jika itu kita lakukan maka kita akan sulit menemukan pesan yang dikehendaki teks sumber (TSu). Kalimat (1a) akan berarti ‘orang-orang yang ingin melihat dalam bisnis internasional’. Kalimat ini tidak memberikan solusi dan menangkap pesan yang diharapkan dari TSu. Oleh karena itu, kita seharusnya menggunakan teknik transposisi, yaitu teknik penerjemahan yang mementingkan pesannya daripada kesejajaran formalnya. Jadi, frasa “people to watch” kita artikan menjadi ‘tokoh yang patut diperhitungkan’. Hal ini diperkuat oleh hasil bacaan cepat yang kita lakukan dalam tahapan analisis TSu yang menggambarkan bahwa “Nobert Reithofer dianggap tokoh yang paling tepat untuk melanjutkan dominasi BMW sebagai penjual mobil terlaris di dunia bisnis internasional”. Selain itu, seorang penerjemah juga dituntut memiliki pengetahuan umum, khusus dan budaya yang melatarbelakangi kedua bahasa sama baiknya antara BSu dan BSa. Pengetahuan BSu diperlukan untuk menangkap makna yang sebenarnya sehingga kita tidak menyimpang (bias), sementara pengetahuan BSa dibutuhkan agar kita mampu mengalihkan pesan dari TSu ke dalam TSa dengan bahasa yang lugas, ringkas, dan tentunya benar.
            Contoh lainnya adalah sebagai berikut:
            
            (2a) Nobert Reithofer, CEO, BMW.
            (2b) Nobert Reithofer, Direktur Utama, BMW.
         
            Jika kita tidak memiliki pengetahuan memadai dan mengetahui budaya BSa dan BSu, singkatan CEO, akan membuat kita sulit mencari maksudnya, tetapi dengan pengetahuan umum yang memadai kita akan mengetahui bahwa CEO merupakan abreviasi dari Chief Executive Officer. Lalu, pengetahuan umum mencukupi bagi seorang penerjemah yang baik? Belum. Karena hal itu akan membuat kita menerjemahkan Chief Executive Officer menjadi ‘Pegawai kepala eksekutif’. Tentunya terjemahan demikian tidak berterima dengan budaya di Indonesia. Untuk itulah kita mencari padanan kata yang sepadan (equivalent) dengan TSa menjadi ‘direktur utama’.

(3a) Myth : I am too old to donate organs.
      Fact   : people from all ages can donate organs and tissue. Physical condition,   
                  Not  age, is the important factor in determining if organs can be used.
           
               Dalam menerjemahkan teks (3a), langkah pertama adalah membaca teks keseluruhan berulang kali untuk mendapatkan maksud atau pesan yang disampaikan, kemudian bagian-bagian yang kurang dipahami dan dianggap penting ditandai (analysis), lalu kita menerjemahkan (transfer) ke dalam teks sasaran dan sekaligus melakukan deverbalisasi, yaitu melepaskan diri dari ikatan teks sumber untuk menangkap pesan yang di sampaikan. Dengan demikian,  kita mempunyai pemahaman teks terjemahan seperti di bawah ini:

(3b) Mitos: saya terlalu tua untuk mendonor organ-organ dan jaringan otot tubuh saya.
                    Fakta: semua orang dengan berbagai tingkat usia dapat mendonorkan organ tubuh mereka.                                   Kondisi fisik yang baik, merupakan hal yang paling penting dalam menentukan apakah                                   organ tubuh masih dapat didonorkan.

Tentunya teks terjemahan (3b) masih belum sempurna. Langkah selanjutnya adalah restructuring. Langkah ini kita lakukan untuk melihat kesesuaian antara audience design dan needs analysis. Contohnya, organs and tissue kita artikan dengan satu kata saja ‘organ tubuh’ karena kata itu lebih berterima dengan budaya indonesia. Lalu, kita membacanya berulang kali untuk melihat apakah teks terjemahan berterima. Akhirnya, teks tersebut dapat kita lihat seperti di bawah ini:

(3c) Mitos : saya terlalu tua untuk mendonor organ-organ tubuh saya.
                   Fakta :  setiap orang dapat mendonorkan organ tubuh mereka. Karena faktor yang                                                  menentukan dalam mendonorkan organ tubuh bukanlah faktor usia  seseorang melainkan                              faktor kondisi fisik yang baik.


Penerjemahan yang salah dapat  juga berakibat fatal bila dokumen yang diterjemahkan adalah dokumen penting seperti dokumen-dokumen yang bersinggungan dengan masalah peraturan dan hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan penerjemah yang tersumpah (Sworn Translator) yang akan menjamin keakuratan hasil penerjemahan dan rahasia dari TSu itu sendiri. Akan tetapi, bagi kita penerjemah pemula tidak ada salahnya jika terus memperbaiki dan membenahi diri jika benar-benar ingin mengeluti dunia penerjemahan. Kiranya secuil catatan sederhana ini dapat membantu pembaca untuk memahami dan mungkin tergoda untuk mencoba terjun ke dunia penerjemahan. Tidak ada salahnya untuk mencoba, karena mencoba merupakan proses awal yang cemerlang untuk mencapai kesuksesan. Barangkali motto lebih baik mencoba daripada tidak melakukan apa-apa dapat kita jadikan momentum untuk berkarya di dunia penerjemahan. Selamat mencoba!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesta Kenangan 16 Desember 2004

Pesta Kenangan 16 Desember 2004
Tsunami telah meninggalkan bekas untuk sejuta kenangan di dada

Sulitkah Anda menulis bahasa Aceh?