Teknik
Penerjemahan
Rahmat, S.Ag.
Balai Bahasa
Banda Aceh
Alhamdulillah pada medio Februari 2007,
penulis mempunyai kesempatan mengikuti pelatihan penerjemahan bagi penerjemah
pemula di Pusat Bahasa Jakarta .
Sebagai seorang yang awam di dunia penerjemahan, pelatihan tersebut cukup
memberi arti penting bagi wawasan penulis bahwa sebetulnya dunia penerjemahan
merupakan dunia dengan daya tarik tersendiri, seperti menambah cakrawala
berpikir dan ilmu pengetahuan di samping ikut membantu penambahan uang sampingan
tentunya. Akan tetapi, setelah pelatihan itu berakhir, penulis berasumsi bahwa
dunia penerjemahan merupakan dunia yang membutuhkan proses panjang untuk
mencapai tingkat seorang penerjemah profesional seperti penerjemah tersumpah. Rutin
menerjemah dan banyak membaca merupakan dua hal mutlak yang harus diperlukan
seorang calon penerjemah yang baik. Dalam tulisan ini, penulis mencoba berbagi
dari apa yang telah penulis dapatkan di sana
karena narasumber di pelatihan itu merupakan para ahli di bidangnya, salah
satunya adalah Prof. H. Benny Hoed--Guru Besar Penerjemahan UI-- dan ayah Anto
Hoed--suami penyanyi pop kreatif Melly Goeslow.
Menurut Prof H. Benny H Hoed, terdapat 8
teknik penerjemahan yang seyogianya dipahami oleh seorang penerjemah, yaitu (1)
Transposisi, artinya kadang-kadang
penerjemah dituntut untuk mengubah struktur kalimat supaya memperoleh terjemahan
yang tepat. Contoh, trade secrets and
confidential diartikan menjadi ‘rahasia dagang’. (2) Modulasi, artinya memberikan padanan semantik berbeda cakupan
maknanya, tetapi secara konteks pesannnya sama. Contoh, the laws of Germany
govern this agreement diartikan menjadi ‘perjanjian ini diatur oleh hukum
jerman’. (3) Penerjemahan deskriptif,
yaitu pendeskripsian kata bahasa sumber
terjemahan (BSu) karena
tidak ada padanan kata dalam bahasa sasaran penerjemahan (BSa). Contoh, licensed software diartikan menjadi ‘perangkat
lunak berlisensi’. (4) Contextual
conditioning, yaitu menerjemahkan teks sumber dengan memperhatikan makna
secara kontekstual, (5) Catatan kaki,
artinya penerjemah kadang-kadang (jika dianggap penting) perlu juga
mendeskripsikan kata atau frasa sulit dengan memberi catatan kaki sehingga
makna yang dikandung Teks Sumber (TSu) lebih jelas dan mudah dimengerti. (6) Penerjemahan fonologis. Contohnya kata license diartikan menjadi ‘lisensi’. (7)
Penerjemahan baku , yaitu terjemahan yang sudah
mempunyai pedoman standar. Contohnya nama Kota Munich diartikan menjadi Kota Munchen.
(8) Tidak diberikan padanan sama sekali. Teknik ini diberlakukan jika menurut
penerjemah tidak ada padanan kata atau ungkapan yang memiliki makna sepadan
antara Teks Sumber (TSu) dengan Teks Sasaran (TSa) sehingga penerjemah tetap
memakai TSu dalam penerjemahannya. Hal ini misalnya sering terjadi dalam
penerjemahan istilah-istilah kedokteran.
Pekerjaan menerjemah sebenarnya bukan
hal yang mudah tapi juga tidak sulit. Hal ini dikarenakan selama proses
penerjemahan, kita dituntut untuk terlebih dahulu membaca dan mengerti suatu
tulisan. Langkah ini dikenal dengan istilah deverbalisasi,
yaitu langkah awal dalam penerjemahan dengan teknik mencari pesan yang ada sebelum
dilakukan penerjemahan. Setelah itu, proses penerjemahan memasuki tahap “translation is for discussion”, artinya
untuk langkah pertama, kata-kata yang sulit ditinggalkan dulu, lalu
diterjemahkan secara kontekstual. Setelah melewati tahap deverbalisasi baru menentukan untuk tujuan apakah hasil
penerjemahan dan kepada siapakah sasaran hasil penerjemahan. Jika seorang
penerjemah salah dalam menentukan kedua hal dimaksud maka proses penerjemahan
diyakini telah menemui jalan buntu dari hasil terjemahan yang diharapkan.
Selain itu, sering kali penerjemah pemula berhadapan dengan problematika klasik
proses penerjemahan. Penerjemah yang memiliki kemampuan membaca dan mengerti
suatu tulisan yang baik belum tentu berarti mempunyai kemampuan untuk
menerjemahkan suatu tulisan dengan lancar dan benar. Oleh karena itu, seorang
penerjemah perlu juga menguasai dua kriteria, yaitu menguasai kedua bahasa yang
dihadapinya, baik BSu maupun BSa. Dengan menguasai kedua bahasa tersebut secara
maksimal diharapkan dapat menghasilkan terjemahan yang baik. Selain menguasai
BSu dan BSa, penerjemah yang baik juga seharusnya mampu memahami kebudayaan dan
alam yang melatari kedua bahasa tersebut. Penggunaan sebuah metafora asing
tidak akan pernah dimengerti oleh pembaca yang tidak mengenal metafora
tersebut, bila tidak disesuaikan dengan metafora di dalam BSa.
Selain
penguasaan terhadap BSu dan BSa, pemahaman terhadap materi atau topik yang diterjemahkan
juga perlu diperhatikan. Menerjemahkan suatu karya sastra misalnya, akan
kehilangan rasa sastranya bila diterjemahkan secara baku tanpa mengindahkan nilai kepuitisannya.
Sementara menerjemahkan suatu karya dengan topik kedokteran pasti akan berbeda
dengan karya yang bertemakan teknik atau keuangan. Misalnya, dalam dunia
perbankan dikenal istilah "A balance
sheet”. Bila frasa tersebut diterjemahkan secara harfiah tanpa pengetahuan memadai
di bidang ekonomi menjadi ‘selembar keseimbangan’. Terjemahan seperti ini justru tentu akan membingungkan
orang-orang dari kalangan ekonomi.
Padahal frasa "A balance sheet” lebih
wajar dan berterima dengan terjemahan ‘Neraca’.
Terdapat tiga
hal yang harus dimiliki seorang penerjemah agar ia menjadi penerjemah yang baik.
Pertama, seorang penerjemah yang baik
seharusnya memiliki pengetahuan umum yang memadai dan jika perlu ia juga setiap
hari mengikuti perkembangan dunia. Hal ini dibutuhkan agar ia mampu menangkap
konteks kata, ungkapan, uraian teks yang akan diterjemahkannya. Misalnya, ketika
ia menemukan teks “Uruguay Round, ia harus jeli
dengan istilah tersebut. Penerjemah seharusnya tidak terjebak dengan
menerjemahkan menjadi ‘Babak Negara Uruguay ’ yang sama sekali lari
dari pesan TSu padahal istilah tersebut merupakan
istilah yang berkaitan dengan WTO (world
trade organization). Kedua, seorang
penerjemah yang baik harus memiliki pengetahuan khusus jika ia menjadi
penerjemah di bidang khusus, misalnya: hukum, teknik, atau kedokteran sehingga
hasil penerjemahannya menjadi lebih valid, terpercaya, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini perlu diperhatikan karena risiko kesalahan akan
berakibat fatal bagi pembaca teks terjemahan. ketiga, seorang penerjemah yang baik harus memahami
ungkapan "La soumission devant le
texte" yaitu ‘merendahkan diri di hadapan teks’. Maksudnya, seorang
penerjemah harus memosisikan dirinya sebagai seorang yang bertanggung jawab di
hadapan teks. Sedikit saja ia cerobah dan tidak hati-hati dalam menerjemahkan,
ia telah menjadi penerjemah yang tidak profesional dan tidak bertanggung jawab
atas profesi yang diembannya. Oleh karena itu, dalam dunia penerjemahan sangat
dituntut sikap profesionalisme dan moral yang tinggi agar pengalihan pesan
betul dan berterima.
Sebaiknya, sebelum melakukan penerjemahan,
seorang penerjemah yang baik akan melakukan tiga langkah yang akan membantunya
dalam tugas-tugas penerjemahan. Ketiga langkah tersebut adalah
(1) Audience
design (sasaran penerjemahan).
Sebelum melakukan penerjemahan, penerjemah yang baik seharusnya mengetahui
kepada siapa TSa akan ditujukan. Hal ini perlu dilakukan untuk menjadikan TSa
tepat sasaran dan mudah dipahami maknanya. Dengan mengetahui sasaran
penerjemahan, seorang penerjemah akan menggunakan bahasa, istilah, atau
ungkapan-ungkapan tertentu yang dianggap dapat dipahami oleh yang memerlukan
teks terjemahan. Jika teks yang akan diterjemahkan merupakan teks kedokteran (dengan
begitu banyak istilah latin) akan ditujukan untuk masyarakat dengan latar
belakang pendidikannya bukan kedokteran, bahkan mungkin masyarakat awam,
seharusnya kita menggunakan istilah-istilah yang mudah dipahami atau jika perlu
kita menambah dengan uraian tambahan (catatan kaki, misalnya). Contoh: penyakit
tubercle bacillus; tuberculosis, kita
gunakan ungkapan penyakit TBC saja yang lebih mudah meraka pahami.
(2)
Need analysis (tujuan penerjemahan), untuk kebutuhan di bidang apakah
penerjemahan tersebut, langkah ini perlu dilakukan untuk mencapai tujuan yang
diharapkan oleh yang memberikan teks terjemahan. Misalnya, teks yang
diterjemahkan merupakan teks tentang perundang-undangan, tentunya penerjemah
harus melakukan penerjemahan dengan berbagai referensi dan menggunakan bahasa baku . Selain itu, TSu yang
bermuatan politis juga seharusnya diterjemahkan dengan bijak. Misalnya, frasa Palestine militant dalam teks politik luar negeri
harus diartikan dengan ‘pejuang palestina’ dan bukan ‘militan palestina’ yang
berkonotasi negatif. Atau the chief of Palestine , tidak diartikan ‘Kepala Daerah Palestina’
tetapi ‘Presiden Palestina’ sesuai dengan kebijakan pemerintah Indonesia dan masyarakat muslim Indonesia
yang pro perjuangan palestina.
(3) Equivalence,
artinya yang diutamakan
adalah kesepadanan makna bukan kesejajaran formal (formal correpondence) dari teks sumber. Sebagaimana yang kita
maklumi penerjemahan merupakan kegiatan mengalihkan pesan dari bahasa sumber (Source Language) ke dalam BSa (Target Language). Oleh karena itu,
dalam melakukan penerjemahan yang diprioritaskan bukanlah kesejajaran formal (formal correspondence), tetapi
kesepadanan makna (equivalence). Mari
kita lihat contoh berikut ini:
(1a) People to watch in international business.
(1b) Tokoh yang patut diperhitungkan
dalam bisnis internasional.
Pada contoh (1a) people to watch tidak kita artikan dengan teknik word for word translation, karena jika
itu kita lakukan maka kita akan sulit menemukan pesan yang dikehendaki teks
sumber (TSu). Kalimat (1a) akan berarti ‘orang-orang yang ingin melihat dalam
bisnis internasional’. Kalimat ini tidak memberikan solusi dan menangkap pesan
yang diharapkan dari TSu. Oleh karena itu, kita seharusnya menggunakan teknik transposisi, yaitu teknik penerjemahan
yang mementingkan pesannya daripada kesejajaran formalnya. Jadi, frasa “people to watch” kita artikan menjadi ‘tokoh yang patut diperhitungkan’. Hal
ini diperkuat oleh hasil bacaan cepat yang kita lakukan dalam tahapan analisis
TSu yang menggambarkan bahwa “Nobert Reithofer dianggap tokoh yang paling tepat
untuk melanjutkan dominasi BMW sebagai penjual mobil terlaris di dunia bisnis
internasional”. Selain itu, seorang penerjemah juga dituntut memiliki
pengetahuan umum, khusus dan budaya yang melatarbelakangi kedua bahasa sama
baiknya antara BSu dan BSa. Pengetahuan BSu diperlukan untuk menangkap makna
yang sebenarnya sehingga kita tidak menyimpang (bias), sementara pengetahuan
BSa dibutuhkan agar kita mampu mengalihkan pesan dari TSu ke dalam TSa dengan
bahasa yang lugas, ringkas, dan tentunya benar.
Contoh lainnya adalah sebagai
berikut:
(2a) Nobert Reithofer, CEO, BMW.
(2b) Nobert Reithofer, Direktur
Utama, BMW.
Jika kita tidak memiliki pengetahuan
memadai dan mengetahui budaya BSa dan BSu, singkatan CEO, akan membuat kita
sulit mencari maksudnya, tetapi dengan pengetahuan umum yang memadai kita akan
mengetahui bahwa CEO merupakan
abreviasi dari Chief Executive Officer.
Lalu, pengetahuan umum mencukupi bagi seorang penerjemah yang baik? Belum.
Karena hal itu akan membuat kita menerjemahkan Chief Executive Officer menjadi ‘Pegawai kepala eksekutif’.
Tentunya terjemahan demikian tidak berterima dengan budaya di Indonesia . Untuk itulah kita
mencari padanan kata yang sepadan (equivalent)
dengan TSa menjadi ‘direktur utama’.
(3a) Myth
: I am too old to donate organs.
Fact :
people from all ages can donate organs and tissue. Physical condition,
Not age, is the important factor
in determining if organs can be used.
Dalam menerjemahkan teks (3a),
langkah pertama adalah membaca teks keseluruhan berulang kali untuk mendapatkan
maksud atau pesan yang disampaikan, kemudian bagian-bagian yang kurang dipahami
dan dianggap penting ditandai (analysis),
lalu kita menerjemahkan (transfer) ke
dalam teks sasaran dan sekaligus melakukan deverbalisasi,
yaitu melepaskan diri dari ikatan teks sumber untuk menangkap pesan yang di
sampaikan. Dengan demikian, kita
mempunyai pemahaman teks terjemahan seperti di bawah ini:
(3b) Mitos: saya terlalu tua untuk
mendonor organ-organ dan jaringan otot tubuh saya.
Fakta: semua orang dengan berbagai
tingkat usia dapat mendonorkan organ tubuh mereka. Kondisi fisik yang baik,
merupakan hal yang paling penting dalam
menentukan apakah organ tubuh masih dapat didonorkan.
Tentunya teks terjemahan (3b) masih
belum sempurna. Langkah selanjutnya adalah restructuring.
Langkah ini kita lakukan untuk melihat kesesuaian antara audience design dan needs
analysis. Contohnya, organs and
tissue kita artikan dengan satu kata saja ‘organ tubuh’ karena kata itu lebih
berterima dengan budaya indonesia .
Lalu, kita membacanya berulang kali untuk melihat apakah teks terjemahan
berterima. Akhirnya, teks tersebut dapat kita lihat seperti di bawah ini:
(3c) Mitos : saya terlalu tua untuk
mendonor organ-organ tubuh saya.
Fakta : setiap orang dapat mendonorkan organ tubuh
mereka. Karena faktor yang menentukan dalam mendonorkan organ tubuh
bukanlah faktor usia seseorang melainkan faktor kondisi fisik yang baik.
Penerjemahan
yang salah dapat juga berakibat fatal
bila dokumen yang diterjemahkan adalah dokumen penting seperti dokumen-dokumen
yang bersinggungan dengan masalah peraturan dan hukum. Oleh karena itu,
dibutuhkan penerjemah yang tersumpah (Sworn
Translator) yang akan menjamin keakuratan hasil penerjemahan dan rahasia
dari TSu itu sendiri. Akan tetapi, bagi kita penerjemah pemula tidak ada
salahnya jika terus memperbaiki dan membenahi diri jika benar-benar ingin
mengeluti dunia penerjemahan. Kiranya secuil catatan sederhana ini dapat
membantu pembaca untuk memahami dan mungkin tergoda untuk mencoba terjun ke
dunia penerjemahan. Tidak ada salahnya untuk mencoba, karena mencoba merupakan
proses awal yang cemerlang untuk mencapai kesuksesan. Barangkali motto lebih baik mencoba daripada tidak melakukan
apa-apa dapat kita jadikan momentum untuk berkarya di dunia penerjemahan.
Selamat mencoba!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar